Kegelisahan Sastrawan dan Calon

Posted on

sastrawan.jpgOleh: Herman RN

Sebelum saya bicara di ruang ini, terlebih dahulu saya hendak menyampaikan kepada sidang pembaca bahwa suara ini bukan suara pembelaan, apalagi kemarahan terhadap saudara Mustafa Ismail yang telah melebarkan polemik pembicaraan sastra kita (hal yang bagus). Tulisan ini sekedar hendak membuka wacana diskusi kita terhadap geliat sastra kita (Aceh) dewasa ini. Semoga di ruang ini kita bisa berdiskusi demi perkembangan sastra kita akan datang.

Sejak awal 2007, setiap Minggu, Serambi Indonesia memuat artikel-artikel tentang sastra di kolom opini. Kita tentu masih ingat hari Minggu pertama di bulan Januari tahun ini, wacana sastra kita dibuka oleh Mustafa Ismail. Saya tidak mengulang kembali apa yang sudah dibicarakan Mustafa waktu itu, karena memang sudah saya cerdasi di Minggu ke dua bulan Januari. Kemudian Minggu ke tiganya, Cut Januarita, seorang pegiat sastra yang mengajar di MAN model Banda Aceh, juga memberikan opini dia menyangkut hal yang sama.

Tak cukup sampai di situ, ternyata Mustafa kembali menggugah wacana kita agar mau berdiskusi di ruang ini. Tulisan dia yang dimuat Serambi, 27 Januari 2007 telah melahirkan desas-desus di beberapa teman-teman. Ada yang beranggapan bahwa kami (saya dan Mus) sedang tak cocok. Jadi, tulisan ini juga berupaya meluruskan image miring tersebut. Saya dan Mustafa bukan sedang bertengkar, tapi berdiskusi. Perbedaan pendapat tentu hal yang wajar dalam diskusi.

Pertama, saya hendak meluruskan kegelian Mustafa yang sudah “tergelitik kecerdasan saya”. Dalam artikelnya itu Mus membantah kalau dia sedang gamang, sebab tulisan saya sebagian besar mendukung opini dia.

Kata “Mencerdasi kegamangan Mustafa” bukanlah denotasi bantahan terhadap apa yang sudah dipaparkan Mus, tetapi bisa saja sejalan pola pikiran dia, meski masih ada sedikit perbedaan, itu adalah hal wajar, namanya saja diskusi. Diskusi dilakukan untuk menyamakan persepsi, bukan ingin selalu tampil beda.

Saya tidak menyalahkan Mus jika dia berpendapat bahwa tulisan saya 14 Januari 2007 itu mendukung pernyatan dia. Saya hanya hendak mengatakan, bahwa bukan Mus saja yang mengirimkan surat pembaca ke Harian Serambi. Banyak orang yang mengirimkan surat ke Droe keuDroe meminta agar dibuka kembali ruang budaya di Serambi, hanya saja kebetulan surat Mus yang dimuat. Itu bukan berarti saya sudah mencaplok pemikiran Mus untuk tulisan saya. Kesamaan pola pemikiran hanya suatu kebetulan, karena barangkali kita memang sedang sama-sama gelisah melihat polemik sastra di Nanggroe ini. Dan ternyata kegelisahan itu tidak hanya dialami oleh dua orang. Sangat banyak orang yang mengalami gelisah yang sama; merasa ada sesuatu yang dulu jadi santapan mingguan, kini telah hilang di mata mereka, yaitu ruang budaya di Serambi Indonesia.

Dalam artikel terdahulu sudah saya jelaskan, bahwa Zufikar Sawang pun yang sebagai anggota DPRD sekaligus sebagai orang Dewan Kesenian Banda Aceh turut menyurati Serambi Indonesia. Beberapa kali saya sempat membaca surat pembaca di Serambi yang isinya meminta kembali membuka ruang budaya. Surat itu pernah saya baca dari orang-orang yang tinggal di luar Banda Aceh. Maaf, saya lupa tanggal berapa surat itu dimuat. Yang jelas banyak orang yang mengalami kegamangan melihat perkembangan sastra di Aceh. Kebetulan saya mengambil contoh surat Zulfikar Sawang, karena surat itu merupakan salah satu hasil kongres kesenian se-Nanggroe Aceh Darussalam.

Hilangnya Ruang Ekspresi

Dalam suatu bincang-bincang di warung kopi, gelisah sastra yang dirasakan masyarakat Aceh bukan hanya karena hilangnya ruang budaya di SI, tetapi juga kerinduan terhadap kolom Apet Awee di Harian yang sama. Semangkatnya Hasim KS, tak ada lagi cerita yang mengangkat hal biasa dalam kehidupan menjadi bergaya kocak penuh sindiran dengan hadih maja yang sarat nasehat. Siapa yang bisa menggantikan Phang dan Polem yang berkharakteristik asli orang Aceh dalam Apet Awee tersebut?

Hilangnya Maskirbi dalam bencana mahadahsyat akhir 2004 lalu juga membuat orang-orang gelisah akan kelanjutan sastra kita. Sampai saat ini, masih ada keraguan kalau-kalau tak ada lagi yang bisa ‘Menari dalam Sunyi’ (Puisi Maskirbi; Tarian Sunyi). Tak lama kemudian, tahun kemarin, seorang lagi seniman besar Aceh meninggal dunia, Tgk. Adnan Pmtoh. Meski beliau masih meninggalkan murid dan teman-temannya yang juga bisa bergaya Pmtoh, namun kegelisahan itu tetap dirasakan sebagian seniman Aceh. Oleh karena, sampai saat ini belum kelihatan di permukaan pengganti-pengganti seniman-seniman itu. Yang saya sebutkan ini hanya segelintir, masih ada lain yang juga hilang dari mata kita, misalkan saja yang tinggal di daerah pelosok. Pernah salah seorang pesandiwara radio Aceh era 80-an, Ismail Kakek berujra, “Sayangi kami, kami tak ada tempat untuk berkreativitas.”

Jika kita berbicara masalah ruang ekspresi, siapa yang harusnya dipersalahkan? Ruang budaya di koran-koran lokal merupakan salah satu ruang ekspresi. Ke mana generasi penerus harus mencarinya saat ini? Sebab koran bukanlah milik mereka, parapegiat seni/ sastra, akhirnya wajar jika tak kelihatan geliat calon sastrawan itu.

Mustafa baru mengakui seseorang itu layak disebut sastrawan jika sudah beberapa kali menembus koran nasional. Bahkan Mus tidak berani menyebut dirinya sebagai sastrawan, barangkali dia malu dan merasa belum pantas. Baik juga etikat dia yang merendah itu. Tetapi pertanyaannya sekarang, apa yang menjadi standar seseorang bisa disebut sebagai sastrawan? Apakah karya seseorang itu harus dimuat dulu oleh koran nasional setiap Minggu? Lantas, yang selalu mengirimkan karnyanya, tapi tak pernah dimuat? Atau yang hanya mampu bergiat di daerah karena keterbatasan satu dan lain hal, tak patut kita beri gelar sastrawan?

Mus menyebut hal itu sebagai potensi sastra, artinya mereka adalah calon sastrawan. Andai karya mereka tak pernah dimuat sekali jua di koran nasional, artinya orang tersebut calon yang gagal jadi sastrawan (seperti Pilkada saja). Jadi, yang selalu menulis dan bergiat di daerahnya tak dapat dikatakan sebagai pegiat sastra (sebutan saya terhadap sastrawan), demikian maksud Mustafa.

Perlu diketahui, di negara ini belum ada sekolah atau Perguruan Tinggi yang jika mahasiswanya lulus diberi gelar sastrawan. Gelar sastrawan merupakan predikatif yang diberikan orang lain melihat hasil yang sudah dikerjakan seseorang. Lulusan Magister Sastra sekalipun belum tentu bisa dikatakan sebagai sastrawan jika dalam tindakan dia hanya bisa berdiri dalam kelas. Artinya, gelar “Sastrawan” merupakan pengakuan orang lain. Jadi, konyol memang kedengarannya apabila ada seseorang mengakui dirinya sebagai sastrawan sementara orang lain tidak pernah mengaku.

Mengenai pertanyaan Mustafa tentang “Siapa saja nama baru dari Aceh yang muncul di koran nasional”, saya memang tak dapat menunjukkan banyak. Tetapi jika dikatakan bahwa anak Aceh takut berlaga di luar, saya kurang sepakat. Sekali lagi saya katakan, anak-anak Aceh sekarang sedang mencoba menembus koran nasional, kebetulan Ali Muddin yang baru mampu menunjukkannya. Bukan berarti yang lain takut bersaing, barangkali mereka belum seberuntung Ali. Jika kurang percaya, silakan tanyakan sendiri pada anak muda Aceh yang sudah ikut pelatihan menulis. Barangkali mereka malu mengaku, karena karyanya belum dimuat. Kasus ini pernah saya temukan dilapangan.

Dalam suatu perlombaan, beberapa orang teman mengaku tidak mengirimkan naskahnya ke sana. Kebetulan saya kenal dekat dengan dewan juri dan panitia lomba tersebut. Di sana tsaya temukan karnya teman-teman tadi. Mereka malu mengaku mengirim karya karena tidak terpilih sebagai pemenang. Kasus ini tentu bisa juga kita bawa ke koran nasional. Tidak tertutup kemungkinan anak muda Aceh malu mengakui mengirimkan naskahnya sebelum koran memuatnya. Jika koran sudah memuatnya, nanti mereka akan mengaku sendiri.

Persoalan kedekatan dengan redaktur yang ditanyakan Mus, akan saya coba luruskan. Kedekatan dengan redaktur bukan berarti harus kenal dekat, satu kampung atau harus teman akrab, tetapi perkenalan dengan redaktur bisa juga lewat karya. Misalkan kita mengirim karya ke koran, lalu meminta tanggapan dari redaktur, berharap agar redaktur mau membalas surat kita dan mengatakan kekurangan dalam karya tersebut. Ini merupakan salah satu menjalin kedekatan dengan redaktur.

Semoga tulisan ini tidak menjawab sepenuhnya kegelian Mustafa dan teman-teman, agar diskusi ini tidak putus hingga mimpi kita dapatkan.

 

Penulis, Mahasiswa FKIP PBSID Unsyiah.

Peminat masalah pendidikan dan sastra,

Pegiat kebudayaan di Gemasastrin dan Teater Nol

Satu respons untuk “Kegelisahan Sastrawan dan Calon

    Qinimain Zain said:
    September 7, 2008 pukul 1:26 am

    (Dikutip dari: Harian RADAR Banjarmasin, Jum’at, 26 Oktober 2007)

    Strategi Paradigma Baru Kongres Cerpen Indonesia V
    (Studi Kasus: Polemik Ukuran Nilai Sastra)
    Oleh Qinimain Zain

    FEELING IS BELIEVING. ILMU diukur dari kekuatannya merumuskan hukum-hukum yang berlaku umum dan hubungannya atas kenyataan, seni dinilai dari pergulatannya dengan hal-hal yang partikular dan penciptaannya atas sesuatu yang belum ada dalam kenyataan (Nirwan Ahmad Arsuka).

    JUM’AT, Sabtu dan Minggu, 26-28 Oktober 2007 ini, berlangsung Kongres Cerpen Indonesia V di Taman Budaya, Banjarmasin, yang rencana dibuka orasi budaya oleh Wakil Gubernur Kalimantan Selatan, HM Rosehan Noor Bachri, yang dihadiri ratusan sastrawan, budayan dan intelektual seluruh Indonesia. Dan, panitia sudah memastikan akan tampil pembicara hebat seperti Lan Fang, Korie Layun Rampan, Jamal T. Suryanata, Agus Noor, Saut Sitomorang, Nirwan Ahmad Arsuka, Ahmadun Yosi Herfanda, Kantrin Bandel, dan Triano Triwikromo. Dari forum ini diharapkan banyak masukan kemajuan. Sedang, tulisan ini hanyalah oleh-oleh kecil dari saya (Kalsel) akan masalah polemik panjang Taufiq Ismail-Hudan Hidayat yang masih jadi ganjalan.

    Polemik adalah fenomena biasa. Namun, untuk memecahkan dan menjelaskannya polemik sastra (baca: seni) menonjolkan seks sekalipun, harus berdasar sistem ilmu pengetahuan. Jika tidak, hasilnya berbantahan dan sakit hati berkepanjangan. Artinya, bagaimana pun harus dengan kritik akademis, yang diharapkan mampu memberi jalan ke arah penyehatan kembali kehidupan kesusastraan.

    Lalu, apa kesulitan sesungguhnya memecahkan hal seperti ini?

    Kembali berulang-ulang memberitahukan (dan tidak akan bosan-bosan – sudah ratusan pemecahan), akar masalahnya adalah sebelum tahun 2000, (ilmu) pengetahuan sosial belum dapat disebut sebuah ilmu pengetahuan, karena tidak memenuhi Total Qinimain Zain (TQZ) Scientific System of Science yaitu memiliki kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum (kecuali Teori Hirarki Kebutuhan Abraham H Maslow, proposisi silogisme Aristoteles, dan skala Rensis A. Likert tanpa satuan, belum cukup monumental). Adalah tidak mungkin menjelaskan sebuah fenomena apa pun tanpa kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum, mendukung sistemnya. (Definisi klasik ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur. Paradigma baru, TQZ ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur membentuk kaitan terpadu dari kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum yang rasional untuk tujuan tertentu).

    YANG baik tidak dapat terletak dalam pertanyaan sendiri, melainkan harus dalam jawaban (Robert Spaemann).

    Mengenai polemik. Inti pertentangan adalah beda pandangan akan nilai kebenaran sesuatu. Menurut Eric Johnson, setiap orang selalu mempunyai reference point atau titik referensi, yaitu apa yang sudah dialami, diketahui atau diyakininya. Artinya, bila titik referensi seseorang atau kelompok masyarakat dengan orang atau kelompok yang lain tentang sesuatu berbeda, apalagi dimuati kepentingan, polemik mungkin terjadi. Namun sesungguhnya, seorang pribadi dan sebuah kelompok masyarakat yang bahagia, bukan disebabkan tidak adanya pertentangan, tetapi karena tidak adanya keadilan kebenaran. Jadi yang penting dalam pertentangan, mengetahui keadilan pandangan kebenaran pribadi seseorang dihadapkan dengan pandangan orang lain yang berseberangan akan sesuatu hal itu. Artinya, untuk menengahi sebuah pertentangan dan menentukan nilai kebenarannya agar obyektif, harus berdasar kerangka referensi pengetahuan pengalaman yang teratur, yang tak lain sebuah sistem ilmu pengetahuan.

    SETIAP kebijaksanaan harus bersedia dipertanyakan dan dikritik oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan lain. Keberlakuan universal harus dapat membuktikan diri dalam konfrontasi dengan mereka yang berpikir lain (Benezet Bujo).

    Dalam paradigma TOTAL QINIMAIN ZAIN: The Strategic-Tactic-Technique Millennium III Conceptual Framework for Sustainable Superiority (2000), TQZ Philosophy of Reference Frame, terdapat jumlah lima fungsi, berurutan, berkaitan, dan satu kesatuan, kebenaran sesuatu dinilai berdasar titik referensi (1) How you see yourself (logics), (2) How you see others (dialectics), (3) How others see you (ethics), (4) How others see themselves (esthetics), sampai ke level (5) How to see of all (metaphysics), yang harus ditanyakan sebelum keputusan menjatuhkan nilai kebenaran sesuatu dalam pertentangan.

    Di sini terdapat hubungan dan pergeseran referensi nilai kuantitatif dengan kualitatif. Dari level logics (benar) yang kuantitatif, ke dialectics (tepat), kemudian ethics (baik), lalu esthetics (bagus), sampai ke level metaphysics (abadi) yang semakin kualitatif. Atau, penekanan referensi sesuatu bergeser dari nilai kebenaran kelompok besar menjadi lebih secara satuan individu, dari hal bersifat konkrit (logika) menjadi abstrak (metafisik). Nampak jelas pula, sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang atau sekelompok orang, bisa dianggap tidak benar oleh yang lain karena mempunyai titik referensi yang berbeda. Atau malah, sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang atau sekelompok orang, tetapi tidak tepat bagi yang lain, tepat tetapi tidak baik, baik tetapi tidak bagus, dan mungkin saja bagus tetapi dianggap tidak abadi sebagai kebenaran suatu keyakinan tertentu. Dan, jika sampai pada keyakinan nilai kebenaran abadi, ini sudah sangat subyektif pribadi. (Sudut pandang level How you see others dan How you see others, How others see themselves dan How others see you, adalah subyektif karena dalam sudut pandang reference object dan reference direction, sedang How to see of all, adalah lebih obyektif, level adil).

    Ada paradoks di sini. Semakin menilai kebenaran sesuatu mengutamakan kepentingan umum (kuantitatif) akan meniadakan kepentingan pribadi (kualitatif). Sebaliknya, semakin mengutamakan kepentingan pribadi (kualitatif) akan meniadakan kepentingan umum (kuantitatif). Ini yang harus disadari dalam menghadapi dan dijelaskan menengahi suatu polemik atau pertentangan apa pun, di mana pun dan kapan pun. Dan, sastrawan (baca: seniman) sadar, harga sesuatu karya terletak kemampuannya menciptakan momentum nilai di antara tarik ulur paradoks ini. Antara konvensi dan revolusi, antara pengaruh nilai lama dan mempengaruhi nilai baru.

    SENI kemajuan adalah mempertahankan ketertiban di tengah-tengah perubahan, dan perubahan di tengah-tengah ketertiban (Alfred North Whitehead).

    Kembali ke polemik ukuran nilai sastra menonjolkan seks. Dalam ilmu pengetahuan sosial paradigma baru TQZ, saya tetapkan satuan besaran pokok Z(ain) atau Sempurna, Q(uality) atau Kualitas, dan D(ay) atau Hari kerja (sistem ZQD), padanan m(eter), k(ilo)g(ram), dan s(econd/detik) ilmu pengetahuan eksakta, sistem mks). Artinya, kebenaran sesuatu bukan hanya dinilai skala kualitasnya (1-5Q dari sangat buruk, buruk, cukup, baik, dan sangat baik), tetapi juga sempurnanya (1-5Z, lima unsur fungsi TQZ, yang untuk TQZ Philosophy of Definition, yaitu logics, dialectics, ethics, esthetics, dan metaphysics secara berurut). Artinya, kekurangan atau keburukan salah satu fungsi membuat suatu karya nilainya tidak sempurna.

    Contoh, definisi paradigma lama, kesusastraan adalah tulisan yang indah. Paradigma baru, nilai keindahan tidak lengkap kalau tidak dikaitkan dengan unsur kebenaran, ketepatan, kebaikan, dan keabadian. Kini, definisi TQZ kesusastraan adalah seni tulisan yang benar, tepat, baik, bagus (indah), dan abadi secara sempurna. Artinya, bila ada pertentangan nilai akan karya sastra (juga yang lain), menunjukkan karya itu memiliki salah satu atau lebih unsur filsafatnya buruk, sebagai sebuah karya yang sempurna. (Memang, sah saja penulis mengejar keunikan atau kebaruan pribadi, mengeksploitasi unsur seks dalam karyanya. Mungkin saja berkualitas segi logika cerita, dialektika nilai, keindahan teknis penulisan dan karya monumental (abadi) suatu genre sehingga juara dalam satu perlombaan. Tetapi dalam paradigma TQZ, tidak sempurna karena abai unsur etika).

    Sekarang jelas, yang dikejar penulis mana pun, bukan sekadar ukuran nilai kualitas beberapa unsur, tetapi karya dengan kualitas nilai kebenaran (lima unsur yang) sempurna. Inilah titik kerangka referensi bersama menilai karya sastra (dan juga apa pun) dalam sistem ilmu pengetahuan paradigma baru.

    SEKOLAH dan kuliah, seminar dan training, buku dan makalah, ulasan dan kritikan, tanpa menyertakan alat metode (sistem ilmu pengetahuan) pelaksanaannya hanyalah dorongan mental yang membosankan, yang tidak efektif, efesien dan produktif (Qinimain Zain).

    BAGAIMANA strategi Anda?

    *) Qinimain Zain – Scientist & Strategist, tinggal di Banjarbaru – Kalsel, e-mail: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com)

Tinggalkan komentar