Gemasastrin

Pembungkaman adalah sebuah tindakan salah. Yang mau b3d_object_32.jpgungkam berarti goblok dan yang membungkam sama dengan gila.

Maka, di sini kita akan berteriak untuk sebuah perlawanan. “LAWAN!” kata Tukul, “BERONTAK!” simbol Herman RN.

Bukan saya, bukan dia, pula bukan Anda. Hanya Tuhan yang berhak menentukan segalanya. “BERONTAK” hanya untuk sebuah kesewenang-wenangan dan pembungkaman.

Saatnya suara hati menjadi milik semua.

Salam Kreativitas Budaya,

gemasastrin

Kepada Pemabaca!

Ruang ini diisi oleh mereka yang pernah dan sedang di Gemasastrin, yaitu sebuah lembaga himpunan mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Syiah Kuala. Dalam ruang ini kami tidak mengenal senior, junior, atau pun dosen. Yang terpenting adalah mereka mau berbagi dan mau dibagi.

meukoen geutanyoe, soe?

Tidak dilarang mengambil seluruh atau sebagian isi dari ruang ini, namun tolong lampirkan sumbernya. Segala sesuatu, baik saran, kritik, masukan, atau pertanyaan, silakan kirim email Anda ke:

katapelangi@yahoo.co.id


21 respons untuk ‘Gemasastrin

    wildan said:
    Juli 1, 2007 pukul 2:10 pm

    karena baru baca maka baru ngerti. karena baru ngerti maka mau cari. karena mau cari maka ingin berbagi: tidak kali ini mungkin juga nanti.

    salam

    rahman said:
    Oktober 2, 2007 pukul 5:31 am

    YAHAGHAGAAJHAJAJJ

    edi mizwar said:
    Oktober 18, 2007 pukul 10:35 pm

    Proses menulis seorang pemalas

    Ingin ku tulis seperti mereka-mereka yang membuatku kagum. Aku tahu menulis bukan karena bakat dari orang-orang yang menurunkan kita. Menulis adalah berusaha dan terus berusaha untuk mewujudkan apa yang ingin kita sampaikan dapat dipahami orang lain.

    Herman RN misalnya, salah seorang alumnus Sekolah Menulis Dokarim. Aku tahu benar siapa dia. Seorang tukang tutur yang tidak mau kalah, mengesankan seorang yang sok tahu. Tapi menurutku dia hebat. Bukan cuma bicara ke langit selatan kemudian melintas ke langit utara. Dia menulis meskipun mula-mula esainya kami tertawakan di sekolah menulis Dokarim.

    Hari ke hari, bulan ke bulan berikutnya. Apa yang ingin kutulis sebagai tugas akhir Sekolah Menulis Dokarim belum kurampumgkan juga. Diana, dan lain-lain sudah lama menyiapkan tugas mereka. Saat-saat terakhir belajar bersama Bang Fauzan, Bang Azhari, Bang Reza – Diana mengatakan hendak menulis tentang si Alu. Orang gila berbalut selembar kain yang berseliweran di sekitaran Kopelma Darussalam. Ketika itu sempat kuperhatikan wajah manis Sundanya. Aku senang mendengar idenya.

    “Diana,” kejarku ketika ia pulang ke Darussalam sore itu bersama seseorang
    bergaya punk yang tak kukenal, “Setelah tugasmu selesai, boleh, ya aku baca tulisanmu.”

    Aku ingin sekali menemukan yang ia gagas di hadapan instruktur Sekolah Menulis Dokarim dan kami teman-temannya, untuk bisa berempati pada Si Alu yang tidak waras itu. Katanya Alu se-angkatan Prof. Raja Masbar, dosen Fakultas Ekonomi Unsyiah, saingan dalam pemerolehan IP, tapi konon gara-gara nilai Si Alu dikurangi karena Alu memprotes dosen yang selalu menganggap dirinyalah yang benar, akibatnya nilai Si Alu diturunkan dari A menjadi E.

    Pulangnya aku terbayang apa yang dikatakan Bang Azhari. Kami diharuskan menulis tentang sosok yang kami kenal benar di kampung, atau dimana saja. Dan tidak tokoh besar semacam Soekarno, Abdullah Syafi’i. Aku kira otobiografi dengan mengandalkan deskripsi kampung, citraan penglihatan ditonjolkan. Sebab setiap tulisan yang lunak mengesankan dibaca bila deskripsi latarnya penuh citraan. Sehingga orang bisa melihat, mendengar, atau membaui tempat itu seakan-akan kenyataan yang sebenarnya, bukan fiksi.

    Di kamar kos, mulailah aku bayangkan orang-orang yang termasuk unik menurutku.Di kampung satu nama cobalah aku ingat-ingat. Ah, kami di kampung memanggilnya Bang Kasem. Orangnya tidak tinggi, juga tidak pendek. Berkulit hitam dengan rambut macam Bruce Lee. Jambul depan nampak menggelikan kita melihatnya karena menghalangi mata. Tapi, kemudian aku merasa tidak tergerak untuk menulis secara lengkap tentangnya. Menjadikan dia sebagai satu-satunya tokoh yang ingin kuceritakan. Aku sendiri bingung. Cerita-cerita cabulnya sewaktu kami bersamanya di rangkang tambak sungguh terlalu vulgar untuk terdedahkan. Meskipun semula aku ingat tentangnya karena aku sendiri selalu terpesona terhadap dongeng-dongeng cabulnya. Terus-terang, aku merasa ingin menulis tentangnya karena ketertarikanku pada kisah hidupnya. Bagaimanakah seseorang yang hanya mengenyam pendidikan sampai kelas lima SD memoroleh keahlian bertutur sebaik itu. Sehingga di antara kami ada yang terkencing-kencing kala mendengar ceritanya.

    Waktu aku kelas tiga SMA, tahun 1999, dia dibawa orang GAM ke gunung. Konon, menurut kabar orang-orang yang menggopyoknya berzina dengan wanita kampung seberang bekas simpanan tentara masa DOM. Ketika itu aku telah jarang ke tempatnya gara-gara dia mempermalukanku di depan pacarku. Motor 70-nya tanpa diminta malah ditawarinya untuk kugunakan. Kebetulan Juli pun mau kuajak makan-makan. Tapi celakanya motor itu lagi mogok rupa-rupanya. Aku bercucuran keringat menghidupkan motor. Sementara itu aku sama Juli benar-benar malu hati dengan teman-teman lain yang mentertawakan kami.

    Terasa tidak pantas menuliskan dongeng-dongengnya. Kelewat vulgar. Aku tahu, teman-teman yang mengenalku masih belum bisa menerima nama-nama mereka kubawa dalam cerpen-cerpenku. Dan lebih baik aku tak mengulangi cerita yang sama seperti “pada sebuah kamar”. Sebuah cerpenku yang ada dalam Meusyen – kumpulan cerpen sayembara Dokarim. Di mana aku telah mendedahkan sebuah kisah sahabatku yang beberapa persennya memang benar-benar telah terjadi.

    Haruskah aku mentolerir sampai sekecil itu perihalnya. Ini bukan persoalan sepele. Tapi barangkali dari judul dongeng-dongeng Bang Kasem. Anda bisa meraba-raba arah dongeng tersebut. Umpamanya yang berjudul ‘malam lailatul kadar’, tentang pengawal raja yang dikabulkan doa untuk memiliki kemaluan sepanjang tiga kali lilit pinggang, yang akhirnya di hukum gantung karena memperkosa permaisuri hingga mati mengenaskan saking besarnya kemaluan si pengawal. Atau tentang ‘puko pajoh pulot’. Ataupun tentang “boh raja limoeng blah droe pengawal gulam”. Tidak, aku tidak bisa menceritakannya di sini. Barangkali dongeng–dongeng ini kusimpan sebagai hiburan jika kelak aku telah menikah. Aku merasa tidak pantas menuliskannya dan nantinya akan dibaca oleh khalayak ramai.

    Ketika aku liburan di kampung kemarin aku ikut duduk bersenda gurau dengan Pawang Leman. Dan kembali aku terkagum-kagum dengan orang ini. Padahal menurut anak buah boatnya yang juga temanku SMP, ia tidak bisa membaca. Namun aku yakin jika anda menjadi aku, Anda pasti terkesima oleh petuturan Pawang Leman.

    “Godain Gua dong,”seru Pawang Leman ketika beberapa dara di kampungku memintas lewat jalan raya

    Amboi…perlu kuberitahu bahwa umur Pawang Leman sekitar 37–40 tahun. Berkulit gelap dengan tangan penuh bulu dan wajah ditumbuhi rambut. Bisa dibayangkan, kami semua tergelak-gelak bukan karena oloknya kepada salah seorang di antara kami yang baru diputus pacarnya. Tidak. Kukira sebagian besar oleh kata-kata Pawang Leman yang tidak pernah tersangka-sangka. Mulailah aku mendengar kata-kata “dialog khusus” darinya.

    Dari mana ia memoroleh kata-kata itu, batinku. “Embargo-Israel-palestina-nasional-internasional-Siti Nurbaya-Osama Bin Laden-Stabilitas Kanōt Bu-Egois-Selebritis-dan masih banyak lagi yang lain yang tentu saja tidak mungkin seluruhnya kuingat.

    Beberapa kali pula aku ikut bersama ke laut yang dinakhodainya. Boat itu diawaki antara 18-25 orang. Biasanya hanya semalam di laut. Tetapi kalau boat melaut sampai ke “tuah teng”. Jarak tersebut bisa dicapai dalam 3-5 jam perjalanan. Boat dapat beberapa hari di laut. Namun, kalau cuma di “tuah san”, mereka melaut hanya semalam.

    Pukat yang menumpuk di dek depan bagian kanan berada diatas boat. Bagian atasnya dipasangi pelampung seukuran buah kelapa. Lalu supaya pukat itu tenggelam sempurna kala mereka melabuhkan pukat, dipasangi cincin-cincin dalam ukuran besar dari tembaga.

    Di sanalah di laut, kami mahasiswa-mahasiswa mendengar ia berceloteh. Aku kira memang ia hanya berceloteh karena ujung-ujung dari ceritanya kami seperti menemukan kata-kata baru yang tidak pernah kudengar sebelumnya. Terkadang dalam posisi seperti itu aku terbayang tokoh-tokoh arif macam Lao Tse dalam cerita Kho Ping Ho. Ia memulai dengan meluruskan kerancuan-kerancuan pada tokoh-tokoh kampungku selama kami di Banda Aceh. Perselisihan tokoh-tokoh kampung. Antara perangkat desa terpilih dengan kaum konservatif masa Soeharto yang secara licik memigrasikan diri ke arah timur kampung dan menjadikan mesjid kemukiman sebagai markas besar mereka. Sementara itu meunasah legal dihuni oleh penguasa baru.

    “Istana merdeka,” kata Pawang Leman, serta-merta kami mengakak. Kalau meunasah ia sebut istana merdeka. Mesjid ia sebut markas besar PBB.

    Paska tsunami ini kaum migrasi ini menjadi oposisi di kampungku. Begitu istilah Pawang Leman yang membuat kami lagi-lagi tergelak. Mereka adalah pemrotes kebijakan-kebijakan perangkat desa yang sah. Meskipun jaman soeharto merupakan tiran, kata Pawang Leman. Sebuah kasus yang membuat warga kampung membenci mereka ialah mengenai tanah wakaf di depan meunasah. Semua orang tahu tanah itu sengaja di beli Teungku Haji Abubakar untuk didirikan pesantren. Entah bagaimana tahu-tahu bekas tanah paya Chik Him dibuat lapangan volly. Konon, kaum oposan ini beralasan bahwa tanah itu tidak cocok dibuatkan pesantren karena letaknya di pinggir jalan raya. Demikianlah kemudian Teungku Haji Abubakar mengundurkan diri sebagai imam meunasah.

    Herannya, walaupun Pawang Leman mengerti sampai sedetil-detilnya kondisi perang dingin tersebut. Yang kami tahu tentangnya bahwa orang ini tak pernah sembahyang. Tidak pernah ada yang melihatnya ke mesjid untuk jum”atan, juga sembahyang hari raya.

    Terus-terang apa yang kutulis ini tidak untuk membuka aib seseorang. Sama sekali tidak. Tapi mungkin menjadi semacam proses umum muslim yang mendiami provinsi ini. Ada yang jelas-jelas merugikan masyarakat namun hal itu bukanlah suatu yang perlu diributkan. Hukum hanya penjelmaan dari pengebirian pihak yang mapan kepada kawulanya.Begitulah sisi Pawang Leman mengagumkanku yang dapat kuterima. Sebuah ungkapan bijak yang tidak pernah kudapat dari orang yang dianggap masyarakat karena memiliki panggilan terhormat di depan namanya. Barangkali pula kesimpulan yang Pawang Leman peroleh atas dasar hubungan yang kurang harmonis dengan bekas tokenya, mantan penguasa orde baru di kampungku yang telah beberapa kali naik haji.

    Mengapa lagi-lagi penyakit menulis karena merasa kurang kaya menghadirkan kata-kata dan nada dalam tulisanku kembali datang melumpuhkan tekadku untuk menulis. Padahal, ingin benar kukejar Herman RN. Menulis dalam langgam bahasa yang sabar dan penuh perasaan welas asih sebagaimana pada esai Hikayat Klakson di Seuramoe Mekkah kepunyaan Bang Azhari. Atau gaya meliuk-liuknya Bang Fauzan Santa. Atau gaya tuturan Bang Reza yang mengingatkanku pada tulisan Ulil Absar Abdalla yang pernah kubaca. Tulisan_tulisan yang secara cergas mencampuradukkan aspek antropologis dan sosiologis semacam Mohammad Sobary dalam kumplan esai Kang Sejo Melihat Tuhan. Dan maestro Indonesia yang mengharukan, Pramoedya Ananta Toer.

    Menulis eksposisi tentang kampungku yang menyedihkan. Kisah-kisah perseturuan akibat hadiah-hadiah tsunami di kampungku dari NGO. Orang-orang kaya yang tidak tahu diri meminta jatah beras miskin sehingga mereka yang miskin hanya bisa memendam sedan. Dan menulis tanpa adanya kekentaraan membagus-baguskan kata-kata yang menjulang tidak sewajarnya. Tulisan yang memuat beragam wacana. Tulisan dengan analogi yang manis seperti catatan pinggir di Tempo. Tulisan-tulisan yang berisikan penyandingan nomena dan fenomen. Wacana-wacana penuh varian secara sederhana, sesederhana-sederhananya. Narasi, deskripsi, argumentasi. Wah, mengapa aku seperti ini. Apakah karena kurang latihan. Apakah karena pada perasaanku selalu terdengar teman-teman di Dokarim menertawakanku. Betapa hari telah begini berperadaban sementara aku sendiri menulis masih mengandalkan tangan. Mungkinkah bersebab dasar-dasar penulisan belum menulang sumsum dalam tubuhku. Antara observasi, kutipan pendapat orang-orang berkompeten, dan analisa sintetis dari antitesis dan tesis tidak mampu teruraikan secara jernih sesuai nada tendensius yang diharapkan.

    Sampai pada upaya ini aku teringat ucapan Bang Fauzan yang membuatku menyadari ketololanku. Ketika itu aku mengungkapkan sebab-sebab kemacetan dalam setiap penulisanku. Tulisan-tulisan yang baru setengah kugarap senantiasa menjadi semacam corat-coret tidak bermakna apa-apa jika dibandingkan dengan cerpen Umar Kayam, kuntowijoyo dan lain-lainnya. Kemudian aku menulis lagi, menulis lagi, dan lantas berhenti menulis menghempaskan badan karena putus asa. Kertas-kertas kulempar ke tong sampah beserta rasa kesal di hati.

    “Kau pikir siapa kau mau membandingkan diri dengan tokoh-tokoh sastrawan Indonesia. Mereka telah bertahun-tahun menulis. Masa kau baru pemula membandingkan diri dengan mereka yang telah kawakan dalam dunia tulis menulis,” kata Bang Fauzan.

    Mungkinkah aku jadi seorang penulis. Mungkinkah aku bisa membuat lelucon seperti tulisannya Ariel Heryanto dalam rubrik asal-usul kompas. Salahkah aku selalu menginginkan tulisanku sama gempita dengan mereka yang membuatku kagum dan berharap selalu bisa dekat bersama mereka.

    Setelah menunggu imaji kembali rampung menjemput dan membawa serta ingatanku dalam rasa-rasa yang sulit bermain. Aku kembali tercenung pada kampung kecilku. Kampungku seperti negeri ini juga menurutku. Seperti provinsi ini pula. Di sana penuh adegan–adegan dalam pola yang sama saja. Orang kaya yang jahat. Orang miskin yang melarikan diri ke agama. Sesuatu yang rumit yang tiap kali ingin kutuliskan serasa terbang menjadi angin.

    Pawang Leman, Bang Kasem barangkali belum mampu memperlihatkan apa yang aku harapkan hadir dalam tulisan ini. Suatu masyarakat kampungku yang lahiriah saja beragama yang diridhai Allah Taa’la. Belum mampu memperlihatkan sisi-sisi yang selalu diterangi mentari. Perangkat kampungku bak kabinet bersatunya SBY-JK. Mereka layaknya kafilah di tengah rawa-rawa yang dahulunya dihuni hantu ORBA, maop yang menakutkan. Dan begitulah kampungku. Setelah meninggalnya Pak Dollah,Teungku Haji Abubakar, meunasah macam Pema Unsyiah yang dikuasai calon-calon tikus masa depan di Nanggroe Aceh Darussalam yang tercinta ini.

    Sebenarnya dalam tulisanku ingin pula kutuliskan seorang calon pahlawan di kampungku. Seorang Teungku baru, calon ulama yang tentu saja berbeda dengan tokoh-tokoh aneh yang lebih dulu aku sebutkan tadi. Namanya Teungku Mursalin. Di HP aku menulis namanya Teungku playboy. Teman sepermainanku semasa kecil. Kawan seiring jalan. Mungkin karena kami sama-sama terkalahkan dalam komunalnya. Kawan yang selalu diolok-olok yang lain sebab kulit kaki kami yang perlu diminyaki jika ke sekolah dulu. Aku mengenalnya seorang yang rajin. Selalu juara kelas semenjak SD sampai SMA. Seseorang yang seandainya dilahirkan dari keluarga berada barangkali sekarang bukanlah di dayah tempatnya.

    Jika libur puasa kami pasti duduk lama menuturkan cerita-cerita dulu. Semisal teman SMP kami yang kala itu aku kagumi. Ataupun teman kami SMA yang sekarang telah mempunyai anak dua yang begitu ia pendam dalam hati. Juga mengenai khotbah-khotbahnya di mesjid tempo hari.

    Tetapi hal itu terjadi jika kami sedang berdua. Di antara yang lainnya dalam masyarakat ia adalah nara sumber orang-orang tua kami. Dan aku tidak boleh berlelucon kalau tidak ingin warga kampung menganggapku tidak sopan di depannya. Pokoknya suatu cerminan nyata di mana mereka yang bergelar Teungku secara tradisi telah menduduki kelas utama dalam masyarakat kampungku.

    Maksudku, aku di sini menjadi contoh dari masyarakat yang jika sedang berbicara dengan Teungku mesti sopan-santun. Bersedia menerima wejangan-wejangan sehingga sebenarnya telah momosisikan mereka, kalangan Teungku sebagai nara sumber yang sah. Meskipun dalam tanda Tanya besar pada pikirku terkadang tidak bisa menerima pernyataannya. Tapi diam kemudian menjadi lebih baik dari pada terus bertanya sehingga orang-orang kampung menganggapku menjadi pendosa yang membantah Teungku.

    Menurutnya kaum Wahabi wajib diusir jikalau memberi dakwah di kampung. ‘Wajib’ ini pernah aku sanggah. Mengapa ada hukum seperti itu. Bukankah karena menganggap jalan syar’iahnya yang benar sekarang kita melihat pertumpahan darah di Iraq. Pernah Nabi mengatakan wajib hukumnya mengusir orang-orang yang berbeda dengan mazhab kita. Bukankah yang menentukan benar dan salah adalah hak prerogative Allah. Bukahkan di antara kita, siapa pun tidak mengetahui yang mana manusia masuk surga atau ke neraka. Meninggal dalam suhul khatimah atau husnul khatimah.

    Sampai di sini ia secara halus menyindirku, menyesalkan orang-orang yang menuntut ilmu dunia yang notabene turunan dari peradaban barat. Mendahulukan fardhu kifayah ketimbang fardhu ‘ain. Orang-orang yang mementingkan hidup berbahagia di dunia daripada memperoleh kebahagiaan di akhirat kelak.

    “Apakah Imam Al-Ghazali dahulu ke dayah mencari ilmu. Setahu saya beliau mengembara mencari ilmu. Seraya bekerja apa saja bahkan bekerja sebagai pembuat sepatu ketika beliau berguru kepada seorang ulama yang sehari-harinya bekerja sebagai pembuat sepatu. Mencari ilmu mesti ke dayah hanya tradisi, bukan anjuran ulama terdahulu atau pun Rasulullah sendiri,” kataku.

    Semenjak itu di kampungku terasa benar aku ‘dihati-hatikan’. Tapi dari telingaku belum terdengar bahwa aku telah menyeberang ke kelompok aliran oposan.

    *tugas akhir sekolah menulis dokarim

      Tepank said:
      Oktober 2, 2010 pukul 4:04 pm

      Maaf, ruang ini bukan untuk posting tulisan yang panjang! bikin orang masal untuk membaca komentar di bawahnya saja. hehehe…

    Rabetsa Kariono said:
    Februari 14, 2008 pukul 11:03 am

    Assalamualaikum semua.

    “Sedih’……………………………
    barang kali, itu kata yang tepat untuk kita menafsirkan kondisi GEM@sastrin saat ini.
    Mengapa?….
    Banyak alasan untuk kita mengatakan kalau kondisi Gem@s identik dengan kata “sedih”.

    Betapa tidak?

    Di tengah Perjalanan gemasatrin yang seakan berjalan gontai di tengah jalan berbatu lagi berlobang, di saat bersamaan juga, orang2 yang semestinya melakukan sesuatu untuk mengarahkan gem@s ke jalan yg benar, melakukan hal2 yg tidak semestinya terjadi.

    Kita bukan@ saling menuding, menyalahkan, atau apapun istilahnya.
    Namun yang pasti, kondisi Gem@s saat ini tidak akan pernah berubah, tanpa adanya dukungan dari prson2 yg memang memiliki kewajuban dan kemampuan.

    Maka, sadarlah wahai org2 saat ini sadar di atas ketidak sadaran.
    Sadarlah, wahai person2 yg saat ini tengah di atas kesadaran semu.
    saya mengundang semua yang mau berbagi, bagaimana/ ke arah mana Gem@s ini kita bawa.

    Barangkali saya terlalu berlebihan berkata, atau mungkin tidak sadar akan diri saya yg begitu bodoh di depan komputer, he he he…

    Tapi saya mengundang siapapun yg memiliki perhatian kepada Gem@s untuk berbagi.

    saya ada oleh2 Untuk kita “MAKAN” semua.

    anda berminat?

    Contact Ke: http://obetdoel.wordpress.com/

    Berikan tanggapan anda, Terima kasih atas Perhatiannya.

    Salam teristimewa buat:
    1. Semua dosen PBSID Unsyiah.
    2. Teman2 Gem@s.

    Jadikan “Gem@s” sebagai Forum untuk kita berbagi.

    Thx.

    From: http://obetdoel.wordpress.com/

    Deri said:
    Agustus 2, 2008 pukul 4:19 am

    tidak semua orang bisa, tidak semua orang mau, tapi aku akan mencoba?

    idham khan said:
    Agustus 4, 2008 pukul 2:29 am

    beberapa waktu yang lalu, aku pulang ke nanggroeku. aku melihat banyak perubahan yang berlaku. terutama di Gem@sastrinku.. orang-orang yang dulu kuanggap tak mampu, tapi sekarang malah membuatku terharu…sehingga…karyanya, tulisannya, lenggak lenggok ranup lampuannya, bahkan pun cara berbohongnya.. sungguh telah membuat lidahku kelu. Daku hanya berpesan kepadamu, dalam gemasastrinku..teruslah berkarya meski penuh dengan kebohongan…. salam semenanjung.

    farizal sikumbang said:
    September 29, 2008 pukul 7:23 am

    saya alumni bahasa dan sastra unsyiah. salam kenal buat adik-adik saya.teruslah menulis dan kembangkan

    farizal sikumbang said:
    September 29, 2008 pukul 7:27 am

    selamat lebaran buat pak wildan,pak mikhlis, dan semua dosen bahasa dan sastra indonesia.kapan ada reuni mantan mahasiswa nahasa dan sastra indonesisa,terutama leting 95

    cHinta said:
    Desember 5, 2008 pukul 1:29 pm

    mungkin ga banyak tahu terkana aku masih baru tapi yang aku tahu aku nyaman disini aku nyaman jadi salah satu dari
    gemastrin,,,
    chayooo gemastrin

    cHinta said:
    Desember 6, 2008 pukul 5:31 am
    Muhammad Baiquni said:
    Mei 29, 2009 pukul 4:56 pm

    Mau gabung, gimana caranya?

    Oh iya, gema sastrin ada rencana mau ikutan Aceh Blogger ???

    Gemasastrin PBSID responded:
    Mei 30, 2009 pukul 6:18 am

    Ikut Aceh Bloger? caranya?

    educrazy said:
    Juni 18, 2010 pukul 2:06 pm

    mantap blognya.. jangan lupa kunjungi juga http://educrazy.wordpress.com

    dedek mulyani said:
    September 6, 2010 pukul 2:08 am

    saya mau nanya, apakah gemasastrin diperbolehkan untuk umum juga? terutama bagi yang ingin mengirim cerpen dan lain-lainnya.soalnya saya bukan mahasiswa PBSI atau mantan mahasiswa PBSI, gimana tuh? mohon jawabannya biar saya gak salah alamat, gitu lo…

    r4nuth said:
    November 10, 2010 pukul 2:01 pm

    bg cara join n meposting di blog ini bagaimana.? saya adalah mahasiswa PBSI 2010. salam kenal

    website said:
    Agustus 10, 2011 pukul 11:54 pm

    As a world wide web resource for organizations and technological innovation enthusiasts to follow the newest and best developments in Unified Communications, IP Telephony, Hosted Communications and VoIP.

    Alumni said:
    Februari 5, 2012 pukul 2:08 pm

    Sebagai lulusan FKIP bahasa dan sastra, saya bangga pada teman-teman dan adik-adik saya yang semakin bisa menunjukkan bahwa mahasiswa dan lulusan bahasa dan sastra juga bisa berbuat banyak, tidak hanya belajar teori menulis dan berbicara dan teori-teori lainnya yang berhubungan dengan bahasa dan sastra, tetapi juga bisa menghasilkan karya yang patut dibaca publik dan bisa menunjukkan eksistensi diri mampu tampil di hadapan khalayak. Sukses terus untuk semua alumnus FKIP bahasa dan sastra unsyiah.

    eko wahyudi said:
    Juni 12, 2012 pukul 4:35 am

    wahhh,,,,keeren bnget kata’nya sangat meresap ke jantong
    heheheheh

    novita rahmawati said:
    Desember 17, 2013 pukul 1:29 am

    boleh kah saya mengetahui biodata muliana penulis naskah drama keluhku becermin

    sub tolhaya said:
    Januari 29, 2014 pukul 4:01 am

    Salam kenal adik-adik di Gemasastrin. Saya Bussairi D. Nyak Diwa (nama pena Bussairi Ende atau B.S. Ende), alumni Gemasastrin 92.Memang adik-adik tak (perlu) kenal saya, tapi kami (bersama Mohd. Harun (C. Harun al Rasyid) Bukhari M. Ali (Burce Reali), Zainal Abidin (Inal Fromi), Sulaiman Juned (Soel J. Said Oesi), dan lain-lain pernah berkiprah di Gemasastrin era 86-92. Tanggal 25 Januari lalu saya ikut hadir dalam Musyawarah Alumni PBSI FKIP Unsyiah. Wah, saya merasa sangat senang dan bangga dengan kiprah PBSI saat ini. Menurut saya PBSI identik dengan Gemasastrin, Kiprah PBSI adalah kiprah Gemasastrin juga. Jadi, mulai saat ini mari kita bekerjasama dan saling berkomunikasi (Aumni, PBSI, dan Gemasastrin). Salam kreatif dan sukses selalu….

Tinggalkan komentar