Tukang Jamu dalam Naskahku

Posted on

karya Azrul Rizki

Pagi terasa hampa, ilalang masih basah oleh embun semalam. Pagi ini tak ada cahaya yang membakar otak, awan mendung menutup cahayanya untuk menerangi bumi. Bocah-bocah berlari menyusuri jalan dengan seragam sekolah. Suasana pagi hening tanpa cahaya itu sangat gaduh dengan anak-anak sekolah. Kegiatan dikampus pun tak lebih membisingkan. Auditorium IAIN hari ini dihiasai suasana baru. Seminar teater dilaksanakan disana. Tatanan rapi ruang audit seakan tak kan jenuh menunggu peserta seminar.

Hadirnya seorang Marhalim zaini sebagai pemateri mengayunkan langkah peserta dengan cepat. Seorang ahli seni dari Riau datang berbagi ilmu tentang teater. Kawan-kawan dari teater putih, rela melintas kota dingin hanya demi seminar ini.

Aku memasuki ruang audit dengan hati resah, mungkin hanya aku yang tak tau teater. Suasana ruang yang agak gelap, menutup rasa maluku. Barisan kursi sangat panjang. Deretan kursi hanya dipenuhi oleh guru-guru. Semakin lama acara itu berlangsung, peluh terasa telah membasahi dahiku. Suara becak membuat aku menoleh keluar ruang, aduhai,,,,seorang gadis turun dari itu, tawanya mengawali pertemuan kecil itu. Langkah gemulai yang berayun sesuai nada irama itu berhenti di kursi depan sebelah kiri. Mungkin dia akan jadi seorang sahabat baru bagiku. Pembukaan seminar sangat meriah dengan hadirnya Fozan Santa dengan rambut gondrong khasnya itu. Pertemuan tiga senior teater itu memberi suasana baru dalam tertib acara. Materi demi materi yang disampaikan oleh AA.Manggeng, disambut hangat oleh peserta. Namun aneh, di sudut ujung kiri peserta, kulihat gadis kecil itu diam. Terdiam bagaikan tak niat untuk memberi tepuk tangan.

Matanya memandangi sekitar ruang audit. Entah apa yang ia dapatkan, dari tiap sudut ruangan hanya ada barisan kursi yang tersusun rapi. Atap terlalu tinggi sehingga membuat ruang itu hampa tanpa hiasan lampu warna-warni seperti yang kulihat di rumah orang-orang kaya. Aku terus memandangi gadis kecil yang belum kutahu namanya. Seminar itu terus berlangsung dengan ceramah-ceramah dari pemateri. Ceramah yang disertai dengan canda tawa khas dari tiga serangkai hari itu.

Hari semakin sangat terik, matahari sekarang sudah tegak di atas kepalaku. Pergantian hawa dari hangat menjadi sangat panas.mungkin benar yang telah digumamkan orang. Pemanasan global,itulah namanya. Gadis kecil itu mulai mengipas tubuhnya dengan makalah yang diberikan pemateri. Peluh mengucur dari leher dan dahinya. Acara hari itu berakhir dengan kata perpisahan dari moderator yang anggun memakai gaya bahasa personifikasi,yang menambah lekatnya suasana perpisahan.

Setelah itu aku lihat gadis kecil itu pergi menuju penginapan. Gadis kecil itu pernah membawakan teater monolog. Malam ini rembulan tersenyum dengan kilauan bintang yang bertabur membawa sejuta keindahan. Pekat malam itu membawa angin persahabatan. Gadis kecil itu menyatu denganku dalam kelompok workshop yang kuberi nama Zainob. Sebuah kelompok yang dibagi berdasarkan keinginan tersendiri untuk menampilkan sebuah naskah teater yang digarap sendiri. Teater mini yang harus siap tampil malam itu, naskah gila-gilaan yang diambil dari seorang anggota Zainob yang paling gokil, dan disutradarai oleh za alam, sahabatku.

Degup jantung berdebar sangat kencang ketika sore itu berganti malam. Naskah yang belum di gladi, harus siap dipentaskan malam ini. Make-up yang apa adanya membuat terlalu monoton dipandang mata.kami tak cukup tenang di saat itu.penampilan pertama yang boleh dibilang sangat bagus dari kelompok Meong kembali membuat nyaliku menciut. Nyali yang tak patut ada pada anggota teater. Semakin dekat dengan pementasan hatiku bergejolakingin membelot, aku tak yakin naskah yang kami bawakan akan membuat penikmat terlena dalam buaian mimpi klasik yang terkarang dalam sengau mata memandang. Pentas beikutnya adalah kelompok kami.

Lampu kembali dimatikan, tak tampak apa-apa dalam ruangan itu. Aku memasuki panggung dengan peran sebagai seorang pejuang aceh yang dikejar oleh belanda. Monolog singkat yang kuucapkan menbuat penonton tertawa, logat Aceh yang masih sangat kental menjadi sarana untuk mengungkapkan jati diri Aceh. Peperangan yang diharapkan tak kunjung terjadi, selalu ada hambatan dari berbagai pihak. Munculnya Za Alam sebagai bencong dalam naskah membuat penonton terkesima. Gaya centil dengan selendang dikepala membuat dia seolah hampir jadi seorang cewek. Perang kembali dihentikan, tentara belanda kembali menggodanya.

Di tengah pertunjukan muncul seorang gadis penjual jamu yang membawa bakul di pundaknya.” Jhamu,,,jhamu, jamunya mas” logat jawa yang dikentalkan, membuat sejumlah penonton bertanya apakah benar gadis kecil yang masih berumur  16 tahun itu memang orang jawa? Pertanyaan itu berdengung sampai turun pentas. Meninggalnya nenekku, merupakan bagian naskah yang menyebabkan perang harus dihentikan. Komedi perang yang diambil judul ”kapan perangnya” itu membawa suasana ruang PKM IAIN terpukau. Sorakan yang diiringi tepuk tangan meriah membawa akhir pementasan. Dibawah pentas aku mengharapkan kenalan lebih dekat dengan gadis penjual jamu itu. Sayangnya ia selalu berada jauh dariku.

Hari pelepasan acara merupakan puncak dari segala acara yang megah itu. Aku bermaksud berkenal dengannya. Namun,setiap jengkal langkahku hanya dibatasi dengan keragusan yang semakin dalam sehingga membawaku untuk jauh darinya. Hanya Za yang pernah mengabadikan masa-masa itu dalam sebuah kamera digital yang fotonya masih tak kunjung kami miliki. Masa indah itu hanya menjadi kenangan persahabatan yang akan selalu kuingat dalam hari-hari aku menjalani hidup seorang gadis mungil penjual jamu dalam naskah garapan Za. Aku akan bertemu dengannya kembali. Salam perpisahan aku ucapkan pada tiga sahabat itu, Diandra, Puji, dan Imoel. Itulah nama sahabat yang akan aku dapatkan dari Arisan teater Aceh. Aku berharapa akan bertemu mereka kemabali suatu saat. Aku ingin mereka mengenalku dengan sebutan Aroel. Buakn Catok seperti yang mereka kenal saat itu. Dan aku tak tau apakah akan terulang kembali saat itu. Aku menunggunya, menunggu berjumpa kembali dengan tiga gadis mungil sahabatku.gadis penjual jamu itu aku atu namanya adalah Puji, anggota zainob yang sekarang menjadi sahabatku.

Darussalam, lorong tengah.

Untuk sahabatku.

Semoga kau membacanya.

Mahasiswa PBSI Unsyiah Angkatan 2008

Tinggalkan komentar