KONTEKS SOSIAL, POLITIK DAN METAFISIKA DALAM NOVEL TONGKAT EL-HAKIM KARYA DR. TAUFIQ EL-HAKIM

Posted on

oleh Medri Osno

1. Pendahuluan

Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun yang lalu. Kehadiran sastra di tengah peradaban manusia tidak dapat ditolak, bahkan kehadiran tersebut diterima sebagai salah satu realitas sosial budaya (Semi, 1993:1). Novel sebagai hasil karya sastra dalam pengertian dokumenter murni jelas berurusan dengan tekstur sosial. Hal ini membuat eksistensi karya sastra—novel merupakan cerminan masyarakat yang menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri merupakan suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat, antara masyarakat dengan orang perorang, antar manusia, dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang.

Salah satu sub objek sosial dalam sastra adalah politik. Di sini novel politik bukanlah suatu genre atau semacamnya; ia hanyalah perspektif pengamatan saja, bukan kategori klasifikasi. Memang pembedaan genre dapat dimanfaatkan dalam analisis sastra, tapi kalau kita berbicara novel politik, kita tidak akan membicarakan suatu perbedaan fundamental dalam bentuk sastra.

Novel politik akan berisi ketegangan internal. Untuk itu ia harus menggambarkan perilaku dan perasaan manusia, di samping harus meresapkan idiologi modern. Idiologi adalah sesuatu yang bersifat abstrak dan pada hakikatnya bersifat umum. Sedangkan novel mencoba menghadapi pengalaman secara akrab dan dekat, dengan demikan akan terjadi konflik dan pertentangan yang tak terelakkan. Justru dengan konflik seperti inilah novel mampu memikat khalayak karena yang ditampilkannya adalah sebuah drama yang menegangkan.

Novel karya sastrawan Mesir Dr. Taufik El Hakim berjudul Tongkat El Hakim ini memuat semua aspek yang telah diungkapkan di atas. Ia realistis dan diungkapkan dengan bahasa yang lincah, tajam, dan satire, mampu mengungkapkan berbagai gejala sosial, politik dan budaya yang terjadi di tengah masyarakat, tidak saja di Timur Tengah tapi juga bersifat universal. Selain itu novel ini juga bersifat metafisis untuk membuka tabir gaib.

Novel ini menampilkan dialog antara Sang Tokoh dengan tongkatnya. Sang tongkat ‘dihidupkan’ sebagai sosok figur untuk menjelaskan, dan sebagai sarana menyampaikan gagasan penulis. Sang tongkat juga dipakai sebagai sarana metafisis membuka tabir gaib, melalui dialog dengan tokoh-tokoh di akhirat, seperti Romeo, Cleopatra, Henry Ford, dan sebagainya.

2. Sepintas Kilas Tentang Novel Tongkat El Hakim

Novel ini lengkapnya berjudul asli Ashol Hakiim Fid Dunya Wal Akhirah karya Dr Taufiq El Hakim diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berjudul Tongkat El Hakim oleh Yudi Wahyudi dan A Bashir, dieditori oleh Musa Margi, penerbit Navila Yogyakarta, cetakan pertama: April 2000. Kulit novel Tongkat El Hakim ini desain cover oleh Ijonk bergambarkan sebuah tongkat dalam posisi tegak miring dengan tiga jari berkuku seperti jari dan kuku seokor burung elang yang sedang mencengkram peta dunia (globe).

Novel Tongkat El Hakim ini terdiri atas 272 halaman dan dibagi menjadi dua bagian. Setiap bagian ditandai dengan halaman tersendiri. Bagian pertama diberi judul Komunikasi Dengan Dunia Lain, bagian kedua berjudul Runyamnya Kehidupan Dunia. Salah satu kelebihan novel ini adalah bagian pertama bukanlah awal dari cerita, tetapi cerita diawali dengan memberi semacam keterangan mengenai identitas tokoh yang akan dimainkan untuk pergi mengembara menelusuri berbagai hal dan tempat. Awal cerita tersebut diberi judul Sepotong Kayu. Pada bagian pertama (Komunikasi Dengan Dunia lain) terdiri atas 10 judul yaitu; Komunikasi Dengan Akhirat, Bernostalgia Dengan Cleopatra, Derita Juliet, Belajar Dari Hawa, Tanggung Jawab Qasim Amin, Perawan Suci Jean D’Arch, Dialog Dengan Hitler, Mendengarkan Kisah Jiha, Akhirat Untuk Penghuni Akhirat, dan Takut Lapar. Bagian kedua (Runyamnya Kehidupan Dunia). Setiap judul bisa berdiri sendiri dengan kata lain tidak tergantung dengan bagian cerita sebelumnya, artinya setiap judul mempunyai struktur dan tema tersendiri. Berdasarkan hal tersebut novel ini seperti gabungan kumpulan sebuah cerita pendek. Tetapi kalau teliti lebih dalam cerita antar judul dalam novel ini dihubungkan oleh alur cerita; tentang pengembaraan tokoh dari dari satu tempat ketempat lain. Tema dasar dari novel ini adalah tentang kehidupan dunia metafika dan dunia nyata.

Membaca novel ini kita akan mamasuki dunia lain dan rumit. Kerumitan disebabkan oleh pangarang sering menyentuh wilayah metafisis yang berlangsung secara berkali-kali sehingga mempengaruhi logika cerita dan watak tokoh utamanya. Bagian pertama pengarang akan mengajak kita terbang ke dunia lain yang disebut akhirat, untuk berbicara dengan tokoh-tokoh yang nyata, seperti Hawa, Napoleon, Jean D Arch, Hitler dan Cleopatra, selain itu kita juga diajak menyelami tokoh-tokoh fiksi seperti Juliet dan Romeo.

3. Perjalanan Hidup Sebagai Dasar Kreatif

Mempelajari riwayat hidup seorang tokoh sangat berarti untuk pembedahan gagasan serta pandangannya terhadap konteks sosial kemasyarakatan (dan tidak tertutup kemungkinan untuk keperluan lainnya). Dengan menelusuri riwayat hidup seseorang berarti kita telah berupaya mengenali perjalanan kreatifitas kelahiran karya-karyanya dan berarti pula kita mengetahui kelahiran gagasannya. Membaca sebagian karangannya berarti kita telah menelusuri biografi Dr. Taufiq El Hakim karena sebagian besar karyanya merupakan bentuk perjalanan hidup. Salah satu contohnya adalah perjalanan hidup Taufiq semasa hidup di kota Thantha sebagai wakil jaksa. Kutipan berikut ini, yang diambil dari awal cerita dalam novel ini dengan judul Sepotong Kayu, bisa menggambarkan bagaimana suasana perjalanan hidupnya itu.

Sejak aku menjadi wakil jaksa di kota Thantha. Sejak saat itu, sang tongkat selalu menemaniku, selalu menjadi bagian tanganku. Naik kenderaan dan berjalan kaki bersamaku dari satu perjalanan ke perjalanan lain…. Tongkat ini tidak seperti “Himar” (keledai, tapi dalam tulisan ini merupakan sindiran) yang pergi meninggalkanku menuju gelanggang politik, hingga aku tidak mampu menemukan atau membedakannya dari sekian politisi…. Puas menghadapi kenyataan hidupnya yang tenang dan damai di sisiku. Mendengar semua kisah yang terjadi di sekelilingku….

Kurniawan (1999:24) dalam sebuah cerita—fakta akan banyak terdistori oleh kepentingan-kepentingan cerita itu sendiri maupun kepentingan diluar ceritanya. Namun pemaparan yang begitu realistis, mau tidak mau membawa pada perspektif bahwa pengarang diinspirasikan oleh kehidupannya ketika hidup di kota tersebut. Selain itu, pengarang mungkin menyadari mengenai pentingnya hubungan antara fakta dan fiksi yang sangat erat, semakin memberikan penjelasan bagaimana sebuah latar yang realistis diinspirasikan oleh kenyataan yang sungguh-sungguh terjadi, termasuk diantaranya pengalaman pengarang ketika menjadi wakil jaksa di kota Thantha.

Lahir di Iskandariyah mesir, tahun 1897 Taufiq El Hakim merupakan lulusan sarjana hukum Mesir dan doktor lulusan Prancis. Taufiq merupakan guru dari Naquib Mahfouz—penerima hadiah Nobel di bidang sastra. Dipandang sebagai guru karena pengarang drama, cerpen, dan novel ini dianggap sebagai puncak representasi aliran realisme sastra di Mesir. Karyanya banyak membicarakan masalah-masalah sosial-politik yang sedang berlangsung di negaranya bahkan juaga secara global. Orang boleh saja berbeda pendapat terhadap persoalan yang diisyaratkan dalam dan lewat teks-teks karya Taufiq. Tetapi orang juga tidak dapat menyangkal, bahwa apa yang dibayangkan Taufiq waktu itu ternyata memiliki kedekatan dengan realitas, yang mungkin saja terjadi hingga sampai situasi saat ini. Teks-teks tersebut tetap mampu berfungsi membangun ingatan kolektif kita mengenai hal tertentu yang perlu secara terus-menerus diposisikan untuk menjadi bahan perenungan dalam kesadaran kita.

4. Kehidupan Alam Metafisika

Dunia metafisika (ghaib) sering kali dipandang sebagai dunia yang ganjil dan luar biasa yang selalu tergambar peristiwa-peristiwa, dan tingkah laku yang nyaris tidak masuk akal dan pelik. Pandangan dan penggambaran Taufiq El Hakim terhadap dunia metafika dapat dilihat dalam cerita; Komunikasi Dengan Akhirat, Bernostalgia Dengan Cleopatra, Derita Juliet, Belajar Dari Hawa,Tanggung Jawab Qosim Amin, Perawan Suci Jean D’ Arch, Dialog Dengan Hitler, Mendengarkan Kisah Jiha, Akhirat Untuk Penghuni Akhirat

Menurut Taufiq, dunia metafisika (gaib) itu tidaklah selalu pelik, ganjil, luar biasa dan tidak masuk akal. Cerita yang digambarkan tidak selalu penuh dengan makna simbolik, didaktis, sekaligus ajaib. Dunia gaib atau metafika adalah hal yang biasa saja, ada kehidupan seperti halnya dunia nyata, saling berinteraksi sesama mereka melalui tegur-sapa.

Taufiq tidak begitu saja membawa pembacanya langsung terjun bebas ke dunia gaib dalam keadaan kebingungan, tetapi dengan kelihaiannya Taufiq terlebih dahulu menerangkan mengapa sang tokoh dalam cerita ini bisa berhubungan dengan alam arwah. Dalam cerita Komunikasi Dengan Akhirat terjadilah dialog sang tokoh dengan tongkatnya mengenai Joe Williamson, pendiri dan mantan ketua kelompok paranormal mengadakan percobaan untuk membuat telepon spiritual. Telepon spiritual tersebut berfungsi untuk manusia yang masih hidup di dunia nyata agar bisa berdialog dengan orang–orang yang sudah mati di alam arwah. Sebenarnya masalah telepon spiritual tersebut hanyalah merupakan khayalan sang tokoh saja. Khayalan yang diceritakan oleh pengarang dalam cerita ini digambarkan bukan sebagai khayalan tetapi kenyataan.

Sang tongkat berkata,”Itu merupakan penemuan yang benar-benar mengagumkan. Bayangkanlah jika kita memiliki alat itu, lantas kita mau mencari siapa dari sekian penghuni alam lain?”

“Terserah anda,” jawabku

“Oke kita sepakat. Sekarang sekarang saya akan membayangkan alat itu ada dihadapan kita dan saya akan mencari ruh siapapun yang terlintas di hati saya. Dan jika mau silahkan anda ikut mengajukan pertanyaan-pertanyaan, sekaligus menerima jawaban”.

Untuk selanjutnya, sang tokoh dan tongkatnya mulai memasuki dunia gaib. Sang tongkat menekan tombol dan mencari Cleopatra. Setelah berhasil mengontak Cleopatra terjadilah dialog sebagaimana lazimnya yang terjadi pada dunia nyata. Dalam dialog tersebut sang tongkat menanyakan tentang hubungan Cleopatra dengan kekasihnya Antonio, juga sebab kematian mereka.

Di akhirat anda pernah bersua dengan Antonio atau tidak?”/”Tentu saja. Sekali-dua kali kami pernah bertemu. Kami pun tertawa terbahak-bahak mengingat kepicikan kami ketika masih di dunia”.

Seperti yang telah diungkapkan di atas, sang tokoh dan tongkatnya tidak hanya berhubungan dengan tokoh-tokoh nyata, tetapi juga mengadakan kontak dan berbicara dengan tokoh-tokoh fiksi seperti Julie dan Romeo. Dari percakapan mereka, terungkap bahwa Julie tidak mencintai Romeo, seperti cerita yang selama ini kita ketahui. Malahan Julie ingin terbebas dari belenggu cinta Romeo. Artinya dalam dunia gaib bisa saja perasaan cinta ketika hidup di dunia berubah menjadi benci.

Aneh, kami menduga anda berdua hidup bahagia di akhirat…” / ”Bahagia? Bersama pemuda yang tidak tahu adat itu?”.

Begitu juga halnya dengan Hawa dan Adam, mereka berdua hidup di akhirat tidak akur. Di antara mereka terjadi perselisihan dan penyesalan. Hawa menyesali mengapa ia bisa berpasangan dengan Adam. Pun begitu juga sebaliknya.

Andai saja anda tahu bagaimana dia memperlakukan aku setelah itu, sepanjang hidup kami di bumi. Dia tidak mau memahami bahwa dia adalah temanku dalam setiap kerja yang sudah dan akan kami lakukan. Baginya aku adalah makhluk yang diciptakan untuk menimpakan segala bencana kepadanya. Betapa kasarnya. Dia tidak sudi walau sekadar menganggap diriku sebagai salah satu bagian tulang rusuknya”.

Selain itu, keadaan di alam akhirat digambarkan tidak mengenal siang-malam dan batas waktu. Hal tersebut dapat kita simak dari penggalan dialog sang tongkat dengan Hawa berikut ini;

Di sini dunia, selamat siang”. / “Selamat Siang? Siang apa lagi? Siang itu apa?” / “Maaf aku lupa kalau di akhirat tidak ada siang dan malam….”.

Walaupun di akhirat tidak mengenal siang dan malam, namun hal tersebut bukan berarti dialog melalui alat komunikasi telopon terganggu seperti halnya di dunia nyata—biasanya alat komunikasi akan terganggu karena faktor alam, misalnya karena cuaca yang jelek. Hal ini akan terlihat ketika dialog dengan Qasim Amin

“…. Bukankah anda bisa mendengar dengan jelas suaraku dari akhirat?” / “Sebaliknya, apakah anda bisa mendengar dengan jelas suaraku dari dunia?” / “Ya… aku bisa mendengar. Silahkan anda berbicara”.

Kehidupan di akhirat ternyata tidak seperti yang kita bayangkan penuh derita, azab sengsara dan kesedihan. Di akhirat, filosof dan ilmuan tidak berarti dan tidak punya kedudukan. Orang-orang di akhirat tidak punya pekerjaan lain selain hanya untuk bergembira. Selain itu, kehidupan akhirat tidak ada kebohongan, mereka bercerita dengan jujur dan polos serta saling mencintai.

“Kami tidak melakukan apa-apa kecuali itu. Di sini, orang-orang begitu mencintaiku, sebab secara rahasia—seperti yang meraka lakukan di dunia—menyebarkan kisah-kisah konyol yang mereka susun sendiri, dan mereka kemukakan dengan ungkapan polos,”

Rupanya sang tokoh dan tongkatnya masih penasaran dengan kehidupan alam akhirat, mereka terus menekan tombol, untuk mencari orang yang dia pilih. Mereka terus berpetualang di alam metafika, aku ingin tahu banyak hal tentang kehidupan alam ini, lalu aku mencari Tagore penyair India yang baru meninggal dunia, sang tokoh pun berdialaog dan meminta beberapa keterangan dari Tagore mengenai keadaannya di akhirat. Aku pun memintanya untuk mengajarkan manusia walaupun aku tahu ia telah mati. Tetapi permintaan sang tokoh tidak dapat dipenuhi dan sanggupi oleh Tagore karena Ilmu-ilmu dunia hanya bisa dipahami oleh mereka yang masih hidup di dunia. Sebaliknya ilmu akhirat hanya dimengerti oleh orang-orang yang ada di akhirat. Matilah terlebih dahulu baru anda bisa memahami semua keadaan di akhirat.

Kegagalan untuk mendapatkan keterangan dari Tagore tidak membuat sang tokoh patah semangat. Sang tokoh ingin mencari pengalaman dari orang-orang yang memang berpengalaman dalam displin ilmunya masing-masing. Semisalnya dalam dunia bisnis Henry Ford, penyair Arab klasik Al Mutanabbi, sang dokter dan Napoleon. Sama dengan Tagore, permintaan sang tokoh pun ditolak oleh mereka.

Akhirnya sang tokoh dengan tongkatnya membuang telepon spritual yang tidak banyak bermanfaat karena orang yang telah meninggal tidak lebih pandai dari orang-orang yang masih hidup di dunia.

Dari kutipan di atas, novel ini menyampaikan amanat bahwa tidak sewajarnya kita yang masih hidup berharap pertolongan dari roh-roh orang yang telah mati.

Mengapa anda berharap agar roh-roh itu menguasai perkembangan-perkembangan kehidupan kita, padahal mereka sudah berpaling ke kehidupan lain. puncak ilmu pengetahuan mereka adalah memantau apa yang ada di atas bumi dalam batas-batas pengalaman khususnya. Sedangkan setelah itu, roh-roh tersebut mempunyai kehidupan baru yang sama sekali tidak kita ketahui. Mereka juga tidak bisa mengkabarkannya kepada kita.

Amanat berikutnya adalah kita yang masih hidup di dunia jangan lagi mengganggu kehidupan roh-roh orang yang telah mati. Kita harus membiarkan orang-orang mati dan roh-roh itu di dalam dunia mereka.

mereka justru akan celaka jika kita singkirkan dari kesucian mereka yang luhur itu untuk kita libatkan dalam berbagai kesibukan dan masalah kita, kita ajak dalam keseriusan dan senda gurau kita, dan kita ajak untuk memikul cita-cita dan langkah-langkah kita. Kita juga akan celaka andaikata bertumpu pada mereka.

4.1 Nilai-Nilai Religius

Sumardjo (2000:7) alam material manusia dapat dikenali lewat pengalaman hidup sehari-hari, sejak manusia lahir sampai pada saat kematiannya. Sedangkan dunia spritual dapat dipahami manusia dan juga dihayatinya lewat lembaga agama, lembaga filsafat, dan lembaga seni. Alam rohani atau alam spiritual di luar alam semesta ini memiliki kebenarannya sendiri yang berbeda dengan alam dunia manusia.

Pengalaman religius yang tercermin dalam sebuah karya sastra dapat kita rasakan melalui munculnya kekuatan kata-kata dan ajaibnya berbagai imaji yang tidak pernah kita jumpai dalam hidup sehari-hari. Penggambaran alam rohani dapat mencerminkan tingkat religius seseorang. Namun di sini pengertian religius bukan hanya menyangkut sisi rohani semata (hubungan personal antara pengarang dengan Tuhannya) tetapi lebih luas lagi karena religius bisa juga memasuki wilayah hukum, aturan (syahri’ah), tatacara atau sesuatu yang berkaitan dengan keagamaan.

Lalu bagaimana hubungannya antara konsep sosial-politik dengan sikap religius penyair? Dalam kisah ini, penyair memberikan contoh yang sangat baik sekali yaitu kisah Nabi dalam menyiarkan Islam. Nabi menyiarkan Islam seorang diri di tengah-tengah umat yang primitif, bodoh, dan jauh menyimpang dari ajaran agama serta norma-norma kemanusiaan (zaman Jahilliyah). Dalam catatan sejarah telah tertulis bahwa bangsa Arab (Quraisy) adalah salah satu bangsa yang terkeras di dunia, tradisi mereka keras bagaikan gunung dan di sinilah nabi diturunkan Tuhan untuk mengembangkan ajaran kebenaran. Tetapi sang Nabi tidak larut dalam penyimpangan itu. Nabi berlaku sabar, jujur, dan tidak berlaku munafik. Sang Nabi memproklamirkan ajaran kebenaran dengan salah satu cara yakni melalui berdakwah. Dalam perjalanannya dakwahnya sang Nabi mengalami berbagai cobaan yang luar biasa beratnya. Baik berupa fitnah maupun menyakiti secara fisik. Berbagai cara dilakukan oleh orang-orang Quraisy untuk menyingkirkan Nabi agar tidak menyebarkan ajaran Islam. Tetapi nabi sangat teguh hatinya dalam memegang ajaran kebenaran yang dibawanya.

Jika anda berlaku seperti itu kerena ingin mencari harta, maka kami akan kumpulkan semua harta kami, sehingga anda menjadi orang yang paling kaya di antara kita. Andaikata ingin menjadi raja, maka anda akan kami jadikan raja.” Tetapi dia justru menjawab,”Demi Allah, andaikata mereka meletakkan matahari di tangan kanan dan rembulan di tangan kiri dengan syarat aku harus meninggalkan dakwah Islam, maka biarkanlah Allah yang membuktikan janji-Nya, atau aku binasa karenanya. Aku tidak sudi meninggalkan dakwah ini.” Dengan demikian, dari padang pasir, lahirlah agama yang benar dan negara yang besar yang menghubungkan Timur dan Barat.

Dari kutipan dialog dia atas, telihat dengan jelas bagaimana cara-cara orang kafir dalam menjebak Nabi. Dan terlihat pula bagaimana sikap tegas dan pendirian Nabi yang kuat. Lalu bagaimana kalau kita bandingkan dengan sikap pemimpin kita sekarang? Tentulah banyak di antaranya tergolong orang-orang yang munafik, fitnah, dan berbohong. Oleh sebab itu jangan heran kalau sebuah bangsa tingkat peradabannya tidak pernah maju dan selalu dililit oleh hutang dan kemiskinan, hal ini disebabkan oleh tiga jenis kuman ganas telah menyerang para pemimipinnya yakni; kemunafikan, kebohongan, dan fitnah.

Aku berkata pada sang tongkat, “Tepat. Kebohongan, kemunafikan dan fitnah adalah musuh yang harus kita perangi sebelum kita melihat negeri ini di masa mendatang”.

Perjalanan religius lainnya dalam cerita Tanggung Jawab Qasim Amin yang berupa pandangan Taufiq El Hakim terhadap hukum-hukum Islam terutama mengenai pergaulan orang muslim dalam masyarakat. Baik tingkah laku, tatacara berpakaian, kepribadian, dan lain sebagainya. Dalam Islam ada hukum tentang aurat yang diharamkam untuk diperlihatkan terhadap umum, tapi diperbolehkan terhadap muhrimnya. Siapa saja yang orang-orang yang dapat dikatakan satu muhrim? Hal ini sudah diatur dalam Islam. Dalam arti kata, agama Islam bukanlah agama yang tertutup dalam melakukan emansipasi wanita, bahkan Islam adalah agama yang memperjuangkan hak-hak kaum wanita. Islam telah mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan sampai pada tingkat yang paling mulia.

Cerita Tanggung Jawab Qasim Amin ini, dimulai dengan sang tongkat yang menekan tombol, mencari Qasim Amin. Setelah berhasil menghubungi Qasim Amin, sang tongkat menyatakan bahwa dia dari Kairo. Seketika itu, Qasim Amin teringat negeri yang perempuannya memakai cadar dan jubah. Dan ia berharap wanita-wanita tersebut dapat membuang cadar dan jubah. Di sinilah awal mula timbulnya konflik dalam cerita ini. Dalam pandangan Qasim Amin, kaum perempuan berhak untuk merdeka misalnya; bisa menimba ilmu pengetahuan di sekolah dan membuka wajahnya sedikit saja. Terjadilah sesuatu diluar perkiraan Qasim Amin terhadap hasil perjuangannya tentang pembebasan kemardekaan perempuan. Dalam perkembangannya perempuan tidak hanya membuka wajah, dan betis. Tetapi lebih parah lagi, mereka telah mempamerkan tubuh dan aurat mereka di tempat-tempat umum. Bagi mereka kebebasan atau kemardekaan adalah persamaan hak antara pria dan wanita. Ajaran dan aturan agama dianggap sesuatu yang kuno dan ketinggalan jaman. Apabila ada yang mengingatkan mereka, maka akan dibilang kuno. Dan nama Qasim Amin selalu akan dijadikan alasan untuk pembenaran.

Pada akhir cerita ini, terjadilah penyesalan Qasim Amin atas hasil perjuangannya yang sudah melampaui batas dan diluar perkiraannya. Karena semua yang berhubungan dengan wanita modern tidak bisa lepas dari nama Qasim Amin. Ia memohon kepada sang tongkat yang menghubunginya untuk dapat membersihkan namanya. Dan mengatakan bahwa dia tidak terlibat dengan semua yang telah terjadi.

lakukanlah demi aku. Demi kebenaran sejarah. Demi orang yang miskin ini. Bersihkanlah nama simiskin ini disetiap tempat”.

Tentu saja sang tokoh dan tongkatnya tidak dapat melakukan semua permintaan Qasim Amin tersebut. Dan diakhir cerita pengarang membawa khlayaknya untuk merenungi akibat perbuatan yang telah dan akan dilakukan. Pengarang membawa kita pada tingkat religius yang tinggi yaitu untuk selalu berserah diri kepada Tuhan serta memohon ampun atas segala kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja selama hidup di dunia ini.

“Serahkan saja persoalannya pada Allah. Sebab, anda bukanlah orang pertama, juga bukan orang terakhir yang namanya dilekatkan pada banyak hal. Padahal dia tidak tahu menahu”.

Sesungguhnya tujuan tertinggi dari agama Islam adalah untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Di antara faktor penting untuk mewujudkan kebahagian di dunia adalah memakmurkan bumi (dalam pengertian yang luas), sementara faktor penting dalam mewujudkan kebahagiaan akhirat adalah membentangkan jalan untuk mendapat ridha Allah (al-Syarif, 2003:38).

Pada cerita Tiga Buah Bola pengarang mengambil simbol periuk nasi tampil menjadi pria yang menawan. Untuk kemudian memainkan tiga bola yang dilemparkannya ke atas. Dalam cerita ini pembaca akan menyelami, merenungi, menyesali, bahkan mentertawai nasip yang telah digariskan Tuhan kepada manusia. Ini tentulah sebuah kiasan antara periuk nasi yaitu alat menanak nasi dengan seorang pemuda yang menggoda dan menawan. Hal tersebut sangat menggelitik hati kita untuk bertanya, apa hubungan periuk nasi dengan pemuda tampan? apakah makanan yang telah kita makan telah membawa kesenangan? ataukah makanan yang telah kita makan telah membuat kita menjadi buta?

Sang pemuda tampil di lapangan terbuka dengan melempar-lemparkan tiga buah bola di telapak tangannya. Bola pertama bertulikan ‘Harta’ , pada bola kedua bertuliskan ‘Kesehatan’, sedangkan pada bola ketiga bertuliskan ‘Ketenteraman hati’. Sebenarnya ketiga hal inilah yang cari oleh semua manusia selama hidup di dunia ini. Tidak peduli dengan cara apapun manusia berlomba-lomba untuk dapat meraihnya. Kemudian sang pemuda menawan menawarkan apakah ada yang mampu mempermainkan bola tersebut seperti yang telah diperagakannya? Tampillah orang pertama untuk memainkannya, setelah bola dilemparkan ke udara, ia hanya mampu menangkap bola ‘Harta’ dan bola ‘Kesehatan’ sedangkan bola ‘Ketenteraman hati’ jatuh bergulir ke tanah. Hal ini mengindikasikan kepada kita bahwa harta kekayaan yang banyak bisa membeli kesehatan, tapi belum tentu mampu untuk meraih ketenteraman hati. Dalam realitas kehidupan kita sehari-hari biasanya orang yang banyak mempunyai harta akan selalu gelisah dan tidak tenang karena selalu memikirkan hartanya sehingga ketenteraman dan ketenangan hati yang hakiki akan hilang. Setelah orang pertama tampil dan mendapatkan bolanya, kemudian dilanjutkan dengan orang kedua. Lalu ia pun mulai memain-mainkan bola. Namun sayang bola ‘Harta’ jatuh tak berhasil direngkuh dalam genggaman. Hanya bola “Kesehatan’ dan ‘Ketenteraman hati’ yang masih melekat di tangannya. Hal ini menggambarkan walaupun bola harta tidak mampu diraihnya dengan kata lain hidup miskin, tetapi ia mampu hidup sehat dan mempunyai ketenteraman hati. Kemudian pengunjung berikutnya tampil ke depan, disusul pengunjung ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya, semua berusaha mencoba. Namun tidak ada satu pun dari mereka yang berhasil menyelamatkan ketiga bola itu sekaligus.

Dari cerita tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa untuk mengumpulkan ketiga bola dalam genggaman tangan adalah sesuatu yang mungkin tapi mustahil. Artinya untuk dapat meraih ‘Harta’ ‘Kesehatan’ dan ‘Ketenteraman hati’ sekaligus dalam hidup ini adalah sesuatu yang mungkin tetapi mustahil. Oleh karena itu sebagai orang yang hidup beragama kita jangan terlalu jadi orang yang ambisius untuk meraih sesuatu yang mustahil dapat kita jangkau (raih). Hal ini, mengajarkan kepada kita supaya menjadi manusia yang selalu mensyukuri nikmat Tuhan.

5. Politik Dalam Sastra

Pada pembahasan ini istilah politik tidak terbatas pada pengertian sempit, sebagai ilmu atau praktek penyelenggaraan lembaga-lembaga pemerintahan, alat-alat negara, dan lain sebagainya. Tetapi istilah politik dalam kajian ini meliputi pengertian yang lebih luas, yang secara sederhana mungkin dapat disebut sebagai aneka siasat dan tingkah memperbutkan atau mempertahankan kekuatan sosial.

Dalam novel Tongkat El Hakim ini terdapat pandangan politik timur dan barat. Untuk lebih jelasnya bagaimana kedudukan politk dalam sebuah novel, kita lihat pandangan Damono (2002:14) bahwa dalam novel politik, politik memainkan peranan utama dan latar belakang politik merupakan latar belakang utama. Dalam bentuk berikutnya yang paling ideal, novel politik adalah novel yang berisi ketegangan internal. Untuk bisa dianggap novel, ia harus berisi penggambaran perilaku dan perasaan manusia; di samping itu ia harus meresapkan ideologi modern. Novel berurusan dengan perasaan-perasaan kecil, nafsu, dan emosi; namun lebih dari itu, ia mencoba menangkap pengalaman konkrit. Ideologi adalah sesuatu yang abstrak sifatnya, yang tentunya akan “membangkang” apabila dipaksa masuk ke dalam novel.

Novel ini memang bukanlah sebuah novel politik yang sempurna. Walaupun dalam alur cerita terdapat ketegangan-ketegangan internal yang bersifat politis. Novel ini seperti kumpulan cerita pendek karena setiap cerita dapat berdiri sendiri secara otonom. Namun demikian, cerita dalam novel ini tetaplah satu ikatan yang utuh, yang diikat oleh pengembaraan sang tokoh dan tongkatnya. Dengan demikian novel ini tidak mempunyai alur cerita yang baku, ia tidak berpolakan lurus (progresif), sorot balik (flash back), atau pun alur campuran dari kedua. Namun kalau kita perhatikan alur cerita novel ini melingkar seperti spiral. Tidak jelas mana yang awal dan mana yang akhir dari cerita. Ia seperti tercecer satu-satu kemudian dipungut dan dimasukkan ke dalam satu wadah, kemudian mereka menyusun dirinya sendiri sesuai dengan pengembaraan suka-suka sang tokoh dan tongkatnya.

Untuk lebih jelasnya sejauh mana penggambaran politik dalam novel ini dapat kita lihat pada cerita Cleopatra. Cerita ini berlatarkan Mesir dan Romawi. Pergolakan jiwa dan ambisi pribadi. Antara cinta sebagai seorang manusia biasa terhadap lawan jenisnya melawan cinta seorang pemimpin terhadap bangsa dan tanah airnya. Sebagai seorang ratu, Cleopatra adalah pemimpin Mesir yang mempertanggungjawabkan satu bangsa di belakangnya. Namun sebagai seorang wanita, Cleopatra adalah manusia biasa yang mempunyai harapan cinta yang membara dan rasa kasih yang mendalam terhadap kekasihnya Antonio. Sedangkan Antonio adalah pemimpin Romawi. Dalam perpolitikan, Mesir menganggap Romawi sebagai perampok dunia yang banyak melahap mahkota dan singgasana. Di sinilah terjadi pergolakan di hati Cleopatra antara perjuangan kepentingan negara dan rasa cinta terhadap seorang kekasih.

Pergolakan yang maha dasyat tersebut ternyata mampu dimenangkan oleh sikap politik Cleopatra dengan memilih mencintai Mesir dari pada mencintai Antonio. Untuk menghilangkan rasa cintanya terhadap Antonio, ia menganggap dirinya tidak mempunyai hak sebagai seorang wanita. Hal ini dilakukannya karena ia tidak mau takluk terhadap Romawi. Baginya jika kepala sudah mampu mengangkat mahkota, maka dia harus mampu menjaganya agar jangan sampai jatuh, sebab jika mahkota itu jatuh, maka seluruh bangsa yang dipimpinnya juga akan jatuh dan dijajah oleh bangsa lain. Di sinilah Cleopatra memainkan peran politiknya dalam menghadapi Romawi yang disebutnya sebagai perampok berkepala dua—antara Kaisar dan Antonio. Politik pertama yang dijalankannya adalah dengan menekan leher Kaisar (menaklukkan Kaisar secara pribadi) dengan demikian Kaisar memantapkan singgasana serta memberikan jaminan keamanan untuknya (Cleopatra). Kedua memanfaatkan kelemahan Antonio yaitu rasa cinta Antonio yang amat besar terhadapnya; sehingga Antonio tunduk di bawah kekuasaannya, dengan demikian akan memberi kesempatan kepada Cleopatra untuk dapat memeras dan mematahkannya, “Aku tawan dan aku manfaatkan, demi kepentingan negaraku”. Dengan kemenangannya tersebut Cleopatra mampu menjadikan kedua kepala itu saling menunduk.

Ketika ditanya oleh sang tongkat, seberapa besar cintanya terhadap Antonio? Cleopatra menjawab bahwa ia benar-benar mencintai Antonio, bisa saja dia dan Antonio meninggalkan bangsa untuk pergi bersenang-senang ke tengah pulau di tengah lautan, seperti yang dilakukan raja Inggris demi Lady Shamption. Tetapi sekali lagi Cleopatra tidak mau melakukannya, karena ia lebih mencintai Mesir. Dalam pandangannya, seandainya ia melakukan hal tersebut sudah dapat dibayangkan Roma akan menjajah Mesir.

Aku melihat jelas sekali bayangan Roma akan melahap Mesir. Tangan si pemenang itu, meletakkan belenggu ke dalam ibukota kerajaanku.

Baginya seorang pemimpin harus bertanggungjawab terhadap keselamatan bangsa yang dipimpinnya. Kepentingan bangsa harus diutama atas kepentingan pribadi. Ketika bangsanya disakiti, pemimpin pun harus rela mati, tidak melarikan diri seperti seorang pengecut.

Itulah undang-undang kemahkotaan, sebagai cahaya sekaligus api, dan orang-orang yang diwajibkan membawanya tidak boleh lari dari kenyataan semacam itu.

Sebelum kematiannya pun ia berpesan, agar menyerahkan Mesir pada putra-putra Mesir sendiri dan menjadikan Raja Mesir menjadi hak anak-anaknya. Dan tidak tunduk terhadap pemerintahan Romawi.

Cerita ini, bertemakan politik tragis-romantis. Tragis kerena pergulatan jiwa dalam cinta terhadap seorang kekasih; Antonio bunuh diri demi cintanya yang tulus terhadap Cleopatra. Demikian pula halnya Cleopatra tidak mampu melewati hari-harinya yang penuh kesedihan setelah kematian Antonio, maka ia pun bunuh diri dengan menggigitkan ular ke sekujur tubuhnya.

Aku perintahkan dayang-dayang untuk mempersiapkan pemandian. Aku pun mandi, kemudian aku santap hidangan dari makanan yang paling kusukai. Kupakai bajuku sebagai seorang ratu. Aku berbaring di atas tempat tidur yang terbuat dari emas. Lantas aku perintahkan mereka mengeluarkan ular yang akan mengeluarkanku dari bumi menuju langit.

Cerita ini romantis mengingat perjalanan panjang cinta sepasang kekasih yang penuh liku. Suasana romatis semakin terlihat ketika Cleopatra mengunjungi kuburan Antonio, kuburannya kutaburi bunga-bunga, kemudian kucium. Namun yang menonjol dari cerita ini adalah sikap politik Cleopatra sebagai seorang ratu. Ia mencintai Mesir melebihi cintanya terhadap sang kekasihnya.

Dalam novel ini persoalan politik tidak hanya dapat kita lihat pada cerita Cleopatra di atas saja, tetapi juga pada cerita-cerita lainnya misalnya pada cerita Perawan Suci Jean D’Arch, Dialog Dengan Hitler,Turun Ke Jalan, Semangat Keabadian, Sepak Bola dan Timur Sang pengemis.

Menurut pandangan Jean D’Arch, bangsa Inggris adalah bangsa imprealis yang merupakan wabah yang menyerang dunia. Ketika Prancis berhasil meraih kemenangan demi kemenangan yang dapat menghancurkan strategi Inggris untuk menguasai seluruh penjuru dunia. Maka Inggris pun memainkan politiknya yang licik dengan mengumpulkan ‘musang’ (negara sekutunya) karena Inggris takut berperang sendirian. Setelah bersama musang dia menyerang. Dengan demikian negara lain pun terpancing untuk membantunya menyerang. Jika berhasil menaklukkan negara yang diserangnya tersebut, maka ia akan mendapat bagian sebagai ketua. Sedangkan pihak-pihak yang membantu, bagian yang diperoleh tergantung pemberian sang ketua. Dengan cara licik dan pengecut demikianlan Inggris meraih kemenangan. Setelah itu, ia pun dengan mudah menangkap warga negara yang dijajahnya tersebut yang dianggap dapat membahayakan kekuasaannya. Sama dengan Jean D’Arch dan tokoh-tokoh perjuangan Prancis lainnya, begitu pun Hitler dan bangsa Jerman sangat membenci Inggris yang mereka anggap sebagai bangsa Imprealis pengecut dan licik. Hitler telah berjuang demi negaranya bahkan sampai mati. Ia telah mempertaruhkan kehidupan bangsa Jerman, sebanyak dua kali dalam waktu seperempat abad. Untuk mengusir Inggris sebagai penjajah dunia. Namun sikap inilah yang dianggap kesalahan terbesar oleh orang Inggris, karena Inggris tidak akan membiarkan siapa saja yang berjuang membela negara selain Inggris.

Dalam cerita Turun Ke Jalan kita akan dapat menyimak pandangan pengarang terhadap perkembangan politik di negerinya dan juga bangsa-bangsa yang ada di dunia pada umumnya. Dalam cerita ini, pengarang menggambarkan kericuhan pada suatu bangsa dalam memilih seorang pemimpin. Orang-orang akan turun ke jalan untuk menyanjung tokoh-tokoh yang disenanginya. Tokoh-tokoh tersebut akan menjadi tokoh jalanan yang dipuja dan disanjung.

Hanya beberapa gelintir politikus, ilmuan, hakim, sastrawan, seniman dan pemikir yang mampu berpikir jernih, bukan hanya sekadar mengikuti kemauan masyarakat.

Menurut pendapat mereka, hanya orang-orang yang berpikiran jernih dan bijak yang mampu memimpin, menyadarkan, membangkitkan dan memberi petunjuk pada bangsanya. Dengan menyanjung Tokoh Jalanan tanpa mengetahui kapasitas dan kemampuan serta tanggung jawabnya untuk menjadi seorang pemimpin.

ini merupakan fenomena umum di setiap negara di dunia. Dan kecenderungan ini merupakan tanda jaman di mana kita hidup. Bahkan sekarang ‘tokoh jalan’ lah yang menentukan nasib suatu bangsa.

Menurut pendapat pengarang pada negara yang telah maju tokoh jalananlah yang menentukan, tetapi bukan dia yang berpikir ada para ilmuan di belakangnya, dengan demikian ada kesimbangan tidak berjalan dengan sendiri-sendiri. Jadi tokoh jalanan tidak selama jelek. Sedangkan yang terjadi di Mesir malah sebaliknya;

kita tidak lagi memiliki tipe ilmuan pemimpin dan pemikir yang dalam hidup mereka dipenuhi oleh hasil karya, prinsip atau ide yang dapat kita ikuti. Sedangkan ‘tokoh jalanan’ selalu dituntut kerelaannya. Dan sekarang ini para pemimpin bangsa-bangsa besar sedang menuju ke sana. Sang tongkat berkata,”Pikirkanlah sejenak, suatu saat akan anda lihat bahwa kedudukan ‘tokoh jalanan’ menjulang tinggi pada bangsa-bangsa maju. Tapi pada bangsa kita kedudukan para pemimipin itu justru merosot.

Menurut pengarang, negara itu bagaikan individu-individu, yang mempunyai fase-fase dalam hidup. Ada fase anak-anak dan ada fase kedewasaan. Pada fase anak-anak cenderung untuk bermain-main dan menghancurkan, tetapi pada fase dewasa cenderung membangun. Pada proses pembentukan perkembangannya, fase anak-anak membutuhkan bimbingan dari orang dewasa. Begitulah politik seharusnya berjalan, karena politik adalah pembangun suatu bangsa. Namun apa yang terjadi di Mesir mereka tidak mempunyai pola itu. Tidak pernah menjadi dewasa dalam berpolitik sehingga para pelakunya saling tuding dan saling menghancurkan, tidak pernah sampai pada fase membangun. Maka malanglah nasib suatu bangsa karena para politikusnya tetap pada fase anak-anak tidak pernah sampai pada fase kedewasaan.

Pandangan politik pengarang terhadap negerinya diungkap dengan jenaka, dalam cerita Sepak Bola. Politik diibaratkan seperti permainan sepak bola. Diakui pengarang pemain dari negaranya adalah pemain-pemain hebat secara individual, bila dibandingkan dengan kesebelasan negara lain. Namun apabila mereka digabungkan dalam suatu tim, mereka cenderung mempertahankan egonya masing-masing, tidak ada kerja sama. Di samping itu mereka juga mengabaikan ciri khasnya. Akibatnya, mereka ingin mencetak gol sendirian, dengan kata lain mereka ingin menonjolkan kehebatan dirinya masing-masing. Kalau dibawa kedalam dunia politik, hal semacam itu tentu akan merusak sistem negara.

Padahal sistem negara bertujuan mengatur mereka menjadi satu kesatuan yang harmonis. Sedangkan di negara yang maju setiap pemain saling bekerjasama saling membantu tidak saling bertabrakan dan berebut bola dengan kawan sendiri. Bagi mereka yang penting tim harus menang, tanpa peduli siapa yang mencetak gol. Artinya apabila suatu negara ingin maju bangunannya harus disusun atas bangunan yang saling menopang. Pemerintah memperhatikan kepentingan rakyat guna mencapai kesejahteraan dan rakyat pun mendukung pemerintahnya. Tidak saling mementingkan kepentingan pribadi. Kepentingan negara diletakkan di atas kepentingan individu atau kelompok. Sehingga tercipta keharmonisan bernegara.

Dalam cerita Timur Sang Pengemis pengarang mengungkapkan pandangan secara universal mengenai hubungan bangsa-bangsa Timur-Arab dengan bangsa-bangsa Barat. Dikisahkan mengapa bangsa barat pada umumnya selalu memandang sebelah mata bangsa Timur-Arab sebab bangsa-bangsa Timur-Arab seperti pengemis selalu menengadahkan tangan meminta-minta pada Barat.

“Berilah kami kemardekaan, berilah kami pinjaman, berilah kami ilmu pengetahuan, berilah kami ide-ide, berilah kami prinsip-prinsip, berilah kami alat-alat, berilah kami barang-barang produksi, berilah kami informasi, beri kami, beri kami, dan seterusnya. Tidak pernah sekalipun Timur berkata kepada Barat “ambillah” sehingga Barat menghormati Timur

5.1 Emansipasi Wanita dan Feminisme

Salah satu fenomena sosial yang menjadi perhatian pengarang dalam buku ini adalah masalah kedudukan genre antara kaum perumpuan dengan kaum laki-laki dalam masyarakat. Hal ini perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh karena selama ini kaum perempuan merasa tertinggal jauh di belakang kaum laki-laki. Disekian banyak kaum perempuan hanya sedikit diantara mereka yang memperjuangkan emansipasi. Kita ambil contoh di Indonesia, hanya segelintir orang yang memperjuangkannya dizaman R.A. Kartini. Sedangkan di Mesir perjuangan emansipasi wanita, malah dipelopori oleh kaum laki-lakinya; Qasim Amin.

Goefe dalam (Sugihastuti, 2002:18) memberikan mendefenisikan tentang feminisme adalah teori tentang persamaan antara perempuan dan laki-laki di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan. Sedangkan di zaman munculnya feminismepun, jumlah mereka yang menjadi feminis tidak lebih dari mereka yang bukan feminis. Pada hakikatnya feminisme itu, memperjuangkan dua hal yang tidak dimiliki oleh kaum perempuan pada umumnya, yaitu; persamaan derajat mereka dengan laki-laki dan otonomi untuk menentukan apa yang terbaik bagi dirinya. Dalam banyak hal, kaum perempuan masih terbelenggu, belum menemukan bentuk kemardekaan yang sebenarnya atau dengan kata lain mereka tersubordinasi. Mereka masih dianggap hanya sebagai pelengkap oleh kaum laki-laki, warga kelas dua, the second sex. Dalam kasus ini kita ambil contoh, untuk menjadi seorang pemimpin atau pengambil keputusan di banyak bidang, yang mendapatkan banyak perhatian dari masyarakat tetaplah kaum laki-laki. Perempuan dianggap tidak mampu menggelutinya, karena sudah tertanam anggapan dalam masyarakat bahwa perempuan tidak pernah rasional dan bersikap tegas dalam mengambil sebuah keputusan. Sehingga perempuan tunduk, mengikuti mereka.

Dalam novel ini, setidaknya ada beberapa tanggapan atau pelurusan mengenai feminis. Pertama upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan dalam masyarakat seperti yang tercermin dalam karya sastra yang ditulisnya. Kedua apresiasi masyarakat terhadap tokoh perempuan dalam karya sastra yang tertinggal dari laki-laki, misalnya; dalam hal latar sosial pendidikannya, pekerjaannya, perannya dalam masyarakat, dan pergaulannya, dalam pengertian yang lebih luas derajat mereka sebagai bagian integral dan susunan masyarakat. Ketiga bantahan pengarang terhadap faktor kedua; ada sisi feminis yang tidak dapat dilanggar oleh kaum perempuan sehingga perbedaan genre tetap akan terjadi (yang merupakan kodratnya sebagai perempuan) misalnya perannya sebagai seorang ibu yang harus mengurus dan menyusui bayinya. Keempat kecemasan pengarang tentang persepsi emansipasi dan feminisme; terutama menyangkut kodrat sebagai perempuan. Hal ini menyangkut masalah yang lebih rumit lagi yaitu aturan-aturan kepercayaan dalam agama. Oleh karena itu, pengarang membuat batasan-batasan emansipasi dan feminisme agar tidak terjadi persepsi yang kebablasan.

Pembicaraan mengenai feminisme sebagai salah satu konteks sosial dalam novel Tongkat El Hakim pada dasarnya merupakam eksploitasi terhadap pemikiran, peran tokoh, sikap, tindakan tokoh cerita dalam hubungannya dengan eksistensi perempuan dan fenomena yang muncul terhadap masyarakat; tantangan terhadap feminisme (kontra-feminis) karena faktor budaya dan kepercayaan terhadap agama. Pikiran dan tindakan para tokoh cerita menegenai eksistensi perempuan jelas keberadaannya, baik dalam bentuk lakuan maupun pembicaraan antartokoh secara khusus, misalnya dialog sang tongkat dengan Hawa dalam cerita Belajar Dari Hawa. Dialog sang tongkat dengan Qasim Amin dalam cerita Tanggung Jawab Qasim Amin. dan Derita Juliet.

Pikiran tokoh cerita tentang masalah perasangka genre dan emansipasi perempuan melahirkan sikap tertentu, misalnya Hawa yang berlatarbelakang hanya sebagai pendamping Adam dan tidak pernah lepas darinya. Dengan keadaan yang terus-menerus demikian akhirnya menimbulkan rasa kebosanan dan pemerontakannya terhadap Adam. Oleh karena itu timbul penyesalan di hatinya, mengapa dia tidak bisa memilih laki-laki untuk pendamping hidupnya selain dari Adam.

Ya beri aku informasi tentang nilon”/”selama Adam tidak mampu mendatangkannya untuk anda di alam lain, apa gunanya informasi itu untuk anda?”/ “Anda benar, Adam memang tidak bisa mendatangkan apa-apa untukku. Sebab beliau sudah terlalu tua. Tetapi yang aku maksud ketika masih di bumi dulu, di mana hidup bersamanya tak terkatakan lagi. Ubannya telah membanjir, tubuhnya sudah lemah. Namun orang miskin seperti aku ini mau berlindung di mana? Andai saja waktu itu ada dua Adam….. tetapi yang ada di hadapanku selalu Adam itu-itu saja, dengan wajah masam dan cemberut. Dan omongannya tetap membosankan tidak berubah”.

Peran Hawa sebagai tokoh profeminis patut dicermati terutama mengenai persamaan hak antara perempuan dan laki-laki mengenai hak untuk memimpin. Hawa mengatakan bahwa sejak masih dalam surga ia telah memimpin Adam. Pun ketika mereka diusir dari surga ia tetap memimpin Adam,

“Siapa yang berkata pada anda bahwa aku tidak pernah memerintah dan memimpin? Coba anda pikirkan, siapa yang menggandeng Adam dan mengeluarkannya ke bumi? Anda tidak boleh membenarkan wanita yang beranggapan sebaliknya. Sebab setiap wanita punya ‘apel’ (daya pikat-ed) sebagai alat untuk menggiring laki-laki!

Stereotipe perempuan dalam karya sastra dapat dilihat pada pikiran tokoh-tokoh cerita dan lakuannya serta penggambaran tokoh-tokoh cerita oleh narator. Di dalam Belajar Dari Hawa meskipun pikiran dan penggambaran tentang emansipasi perempuan terasa keberadaannya, perasangka ganre ternyata juga masih bermunculan dalam berbagai kasus. Kasus pertama adalah ketika tongkat meminta kepada Hawa supaya mereka berbicara berdua saja, tanpa diketahui oleh Adam. Perasangka genre muncul ketika Hawa menjawab permintaan tongkat. Menurut Hawa, Adam tidak mungkin mendengar pembicaraan mereka sebab Adam sudah sejak masih di dunia tidak mau mendengar dan tidak sudi berbicara secara khusus dengan Hawa. Kerena menurut Adam berbicara dengan Hawa hanyalah perkerjaan yang sia-sia belaka. Kasus kedua ketika Adam menimpakan segala kesalahan kepada Hawa, sehingga mereka terusir dari surga. Dan Adam tidak mau menganggap walau sekadar menganggap Hawa bagian dari tulang rusuknya.

Dalam cerita Tanggung Jawab Qasim Amin terlihat jelas penggambaran tentang emansipasi maupun feminisme. Qasim Amin adalah dua sisi yang berbeda. Pada satu sisi ia adalah profeminisme dan pada sisi lainnya ia adalah kontrafeminisme. Sebagai profeminisme Qasimlah yang memperjuangkan hak-hak wanita untuk mendapatkan kebebasan dan kemardekaan. Misalnya perempuan harus mengecap jenjang pendidikan agar mereka tidak jauh tertinggal di belakang kaum laki-laki. Selain itu, Qasim Amin juga menyarankan agar perempuan Mesir untuk dapat membuka cadarnya serta membuang jubah yang salalu membungkusnya. Perempuan harus keluar dari kungkungan budaya yang kaku dan membelenggu. Sebagai kontrafeminisme Qasim Amin terjadi ketika ia merasa menyesal telah memperjuangkan emansipasi wanita. Dalam perkembangan emansipasi dan feminisme yang telah diperjuangkan oleh Qasim Amin tersebut sudah jauh menyimpang dari batas-batas yang telah ditentukan terutama oleh agama dengan kata lain menjadi emansipasi kebablasan. Misalnya banyak kaum perempuan telah melanggar kodratnya sebagai seorang ibu dari bayi-bayi yang telah dilahirkannya, mereka pergi meninggalkan rumah dan memberikan semua urusan di rumah kepada kaum laki-laki, sampai dengan menyusui bayi-bayi tersebut dengan susu ibu dan Ovaltine.

Dalam cerita ini juga terdapat eksploitasi perempuan dengan menggambarkan sisi-sisi kecantikan dan seksualitasnya, misalnya dalam dialog berikut; Lantas mereka membuka sebagian bawah leher dan tangan mereka, hingga sampai ke betis untuk dipamerkan di jalan-jalan dan pesta-pesta. Bahkan di pesta-pesta membuka dada tidak apa-apa. Sedangkan di pantai membuka dada dan bahu juga boleh. Sebenarnya hal ini merupakan tragedi kemanusiaan karena kaum perempuan membuat keputusan demikian tentunya karena ketergantungan agar mendapat perhatian dari kaum laki-laki. Mereka ingin selalu tampil seksi dan mempesona, tidak peduli berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk itu. Maka terjadilah eksploitasi seksualitas. Dan ini akan membuat perempuan tidak mempunyai otonomi.

Dalam cerita Derita Juliet terlihat penggambaran seperti cerita Belajar Dari Hawa di atas. Memiliki alur dan tema yang hampir sama. Kedua merupakan perlawanan perempuan terhadap laki-laki yang selalu membelenggunya. Tidak seperti yang kita bayangkan ketika mereka hidup di dunia selalu bersama dan tidak terpisahkan. Namun di akhirat terjadi perlawanan genre perempuan tidak lagi dipihak yang lemah tetapi sudah berada dipihak yang kuat dan memimpin. Hal ini kita lihat bagaimana Juliet mengusir Romeo dengan kasar agar menjauh darinya, dan Romeo kelihatan begitu lemah, pikun dan penurut.

6. Bagian Kedua: Runyamnya Kehidupan Dunia

6.1 Karya Seni Untuk Apa?

Pengarang yang berlatar belakang sebagai seorang seniman, melihat masalah-masalah sosial dari kaca mata seorang seniman baik secara personal; masalah sosial yang berkaitan langsung dengan seni sebagai hasil karya maupun dengan seniman sendiri, maupun secara universal; masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat. Hal tersebut dapat kita lihat dalam cerita Makhluk Bingung, Rahasia Daya Pesona, Seni dan Sikap Manusia, Tugas Pemikir, Karya Abadi, Masa Depan Bangsa, Pasar Puisi Jaman Sekarang, Kelebihan Akal, Nilai Seni, Karya Sempurna, Tujuan Alam, Ibarat Pohon.

Dalam cerita Makhluk Bingung pengarang mengedepankan idealisme dan kepentingan seniman, apa tujuan mereka dalam menghasilkan karya seni? Jawabannya tentu bermacam-macam, tergantung kondisi. Anak muda mungkin akan menjawab, “saya berkreasi demi keagungan”. Jawaban seperti itu wajar, karena ia masih muda. Karena anak muda belum banyak merasakan kerasnya himpitan kehidupan. Mereka baru sampai pada taraf keagungan dalam memandang kehidupan dunia ini dan masih percaya terhadap realitas-realitas dan slogan-slogan dunia. Namun lain halnya dengan seniman yang telah tua, mereka akan menjawab, “saya berkreasi untuk harta” jawaban ini pun wajar, karena mereka telah kenyang dengan asam garam dan pahit getirnya kehidupan. Idealisme dari tokoh anutan yang dulu disanjungnya telah pudar. Walaupun dia sadar dengan sikapnya semboyan-semboyan yang besar telah kehilangan daya pesona, dan makna-makna agung sudah kehilangan gema. Dengan demikian perjuangan beratnya selama ini akan sia-sia. Tapi begitulah hidup, orang akan meninggalkan semua idealismenya kalau sudah berhadapan dengan penderitaan dan kesenjangan sosial. Namun walaupun demikian ia tetap berkarya.

Sesungguhnya seorang sastrawan atau seniman merupakan seorang pemikir yang mampu mengemas berbagai macam ragam pendapat pada masyarakat awam. Pesan demikianlah yang kita dapati ketika kita membaca Tugas Pemikir. Berhubungan dengan konteks sosial seorang seniman adalah tokoh penyadar, pendidik dan pencipta bukan tokoh pencengkram. Sebab dia tidak ingin pendapatnya menipu anda, tetapi justru berharap agar anda menciptakan pemikiran anda sendiri. Hal tersebut tentu saja berbeda dengan seorang politikus yang keberadaannya dalam masyarakat tergantung pada penugasan mereka. Sehingga mereka menjadi tokoh pencengkaram dalam masyarakat dengan menciptakan berbagai bentuk peraturan dan kebijakkan yang harus yang ditaati dan dilaksanakan. Dengan menerapkan sangsi hukuman bagi orang yang melanggarnya. Dengan demikian keberadaan seniman atau sastrawan dalam masyarakat akan menjadi kontra dengan keberadaan seorang politikus.

Cerita Masa Depan Bangsa pengarang menggambarkan Mesir sebagai suatu bangsa tidak mau belajar dari perjalanan sejarah “kita adalah bangsa yang hidup dari dan untuk satu hari. Kita beranggapan tidak ada hubungan antara masa lampau dan masa depan yang akan kita hadapi”. Disadarinya banyak terlahir orang-orang yang memiliki kecerdasan, kejeniusan, dan perjuangan keras di negaranya. Tetapi mereka hanya laksana bunga yang tumbuh indah di tengah rawa, tidak pernah diperhatikan dan disentuh, apabila hari telah senja ia pun layu seiring dengan waktu. Begitu juga dengan ilmuan, seniman dan sastrawan, siapakah yang mau melanjutkan, menggembangkan dan meneliti karya-karya yang telah mereka hasilkan?

Dalam cerita Pasar Puisi Jaman Sekarang pengarang menggambarkan watak manusia dari berbagai tingkat strata sosial terhadap apresiasi mengenai karya sastra. Pada jaman Jahiliyah para seniman menggelar keahliannya dalam bersastra di pasar Ukadl; tempat orang berkumpul dalam mencari berbagai kebutuhan, walaupun tempat tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan kegiatan seni. Tapi seniman tidak punya cara lain untuk menggelar karya-karyanya tersebut. Di zaman sekarang pasar Ukadl adalah surat kabar; tempat berbagai kegiatan dan sarana informasi. Lalu sejauh manakah apresiasi masyarakat terhadap karya seni yang merupakan sabagai sarana pemikiran dan menjadi filter dari berbagai kesenjangan sosial yang terjadi dalam masyarakat? Ternyata karya seni tidak mendapatkan perhatian yang serius dari khalayaknya. Sebab watak manusia tidak pernah berubah. Mereka hanya mau berkumpul di pasar umum, dan tidak segan-segan membentak orang yang mengerumuninya,”Barang siapa yang tidak membeli silahkan menyingkir!” dengan begitu dapat kita ambil satu kesimpulan bahwa memang benar watak manusia tidak pernah berubah. Yang berubah hanya bentuk-bentuknya saja.

Karya seni tidak hanya menggambarkan sosok pribadi sang seniman belaka tetapi yang lebih penting merupakan sari pati sejarah peradaban negaranya. Oleh karena itu, melatih seorang seniman dalam waktu cepat, tidak mudah tidak sesederhana membentuk seorang atlet. Karena sastrawan mencerminkan kondisi masyarakat. Mencerminkan setiap perubahan atau evolusi ilmiah maupun sastrawi yang dilalui bangsanya. Hal ini dapat kita pahami karena hasil karya seni yang luar biasa (kelas dunia) tidak hanya menggambarkan kesuksesan sastrawannya semata. Tetapi ia menggambarkan kesuksesan ilmu pengetahuan di negara tempatnya berada.

Sang seniman merupakan pencatat dan perekam perkembangan peradaban suatu bangsa, oleh sebab itu negara-negara yang kebudayaannya maju, seniman dan para pemikirnya adalah orang-orang yang jenius sehingga dapat meninggalkan karya yang berbobot. Di mata seniman, kehormatan senilah yang mendorong dan memaksa dirinya untuk menuntut imbalan yang tinggi. Ini merupakan sebuah penghargaan terhadap jiwa dan seni, bukan semata-mata ingin maraih harta. Seniman sejati bukanlah hartawan tertipu yang sepanjang hidupnya menggali kuburan dari emas yang menjulang tinggi bahkan mengekalkan namanya di hadapan manusia. Namun tujuan akhir yang melandasi seniman sejati dalam berkreasi adalah ingin mengaktualisasikan diri, karena keabadian hanya merupakan kunklusi bukan menjadi tujuan.

Dalam cerita Ibarat Pohon disebutkan para kritikus bangsa menyerang sistem sosial, kegiatan ilmiah, sastra dan seni. Mereka memperbandingkan dengan kemajuan dan perkembangan yang telah diraih masyarakat Eropa. Mereka menilai hasil karya dan kualitas yang telah dihasilkan negaranya tidak bermutu, sedangkan di Eropa banyak dijumpai karya bermutu dihasilkan. Mereka lupa, sebelum menyalahkan masyarakatnya sendiri, terlebih dahulu mereka harus mencari fakta bahwa; umur sendi-sendi masyarakat Eropa sudah lebih tua dan lama dari sendi-sendi masyarakatnya sendiri.

Sebelum mencela ilmu pengetahuan, sastra atau seni milik sendiri, harus terlebih dahulu secara mendalam, kapan sendi-sendi modern diterapkan? Di sisi lain, asas-asas kebangkitan ilmu pengetahuan sastra dan seni yang ada pada bangsa-bangsa Eropa itu kapan dimulai? “Hukum keseimbangan tidak akan tampak kecuali jika ada hal-hal yang bisa dibandingkan secara seimbang”.

6.2 Pendidik dan Kekayaan

Dalam cerita Pendidik dan Kekayaan Taufiq mengangkat realitas yang terjadi sehari-hari di sekitarnya.Cerita ini dimulai ketika sang tongkat mengangkat fenomena sosial yang menarik, yang banyak luput dari perhatian orang.

Ada fenomena yang menarik perhatian, cobalah anda catat dan amati siapa pemilik bangunan yang ada di sini? Tidak akan pernah anda jumpai rumah gedung, ladang atau kekayaan menjadi milik pendidik, orang yang menerangi pikiran atau mengangkat harkat manusia. Sebaliknya anda akan menjumpai gedung, ladang dan kekayaan menjadi milik orang yang merendahkan, memperbudak, membelenggu, mengocok perut dan mengacaukan manusia, menabuh gendang, menari mendustai, merayu keinginan dan merosotkan nilai kemanusiaan manusia”.

Memang seorang pendidik di negara-negara berkembang tidak mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintahnya. Para pendidik yang telah mengangkat harkat manusia banyak yang hidup dalam belenggu ekonomi yang sulit. Kalau boleh dikatakan hidup dalam kondisi pas-pasan malah tidak jarang kita jumpai pendidik yang hidup dibawah garis kemiskinan. Kalau kita pikir tidak seimbang antara jasa yang telah diberikannya dengan hasil yang didapatkan. Sebalik gedung-gedung yang megah, ladang yang luas dan kekekayaan menjadi milik orang yang merendahkan, memperbudak, kuruptor, kecurangan, badut, pengacau, provokator, dan yang merosot nilai kemanusian manusia.

Bangsa-bangsa yang masih pada tahap permulaan tidak ubahnya seperti anak-anak kecil. Mereka tidak peduli oleh siapa mereka diberi makanan kalau suka akan mereka terima, apakah dari tukang sulap, badut, atau pun monyet-monyet penjual cinta yang murah. Mereka akan memberikan segala miliknya kepada siapa saja yang dapat memuaskan nafsunya yang rendah dan murahan itu. Apabila dipuji, disanjung, dengan mengatakan ia sudah berwawasan yang luas, maka ia akan berjingkrak-jingkrak kegirangan tidak ubahnya seperti anak kecil dan mereka lupa untuk menyisihkan sebagian uangnya untuk membeli buku yang baik dan tujuan yang berguna. Oleh sebab itu, bangsa-bangsa yang telah dewasa (maju) ia akan memperlakukan para pendidik dengan baik, karena mereka menyadari kemajuan suatu bangsa disebabkan oleh mutu pendidikan yang baik dan tinggi, sehingga penilain mereka terhadap akal dan karya juga akan meningkat.

Dalam cerita Beban Ilmu sama dengan cerita di atas berlatar belakang intelektual. Namun di dalam cerita ini terjadi hubungan sebab-akibat. Pengetahuan manusia yang setiap waktu mengalami kemajuan dan menghasilkan penemuan baru, telah menimbulkan akibat-akibat baru terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Disatu pihak kemajuan ilmu pengetahuan telah mengantarkan manusia pada peradaban yang tinggi dengan segala kemudahan dan kesenangan. Tetapi di pihak lain kemajuan ilmu pengetahuan, telah mengakibatkan banyak manusia di seluruh penjuru dunia menjerit akibat meningkatnya beban kehidupan, karena sudah dapat dipastikan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi selalu diikuti dengan membumbungnya biaya hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Syarif, Muhammad ABD Al-Ghafar. 2003. Teori Pemberlakuan Syariat Islam Secara Bertahap diterjemahkan oleh Azman Ismail dkk. Banda Aceh: Ar-Raniry Press

Damono, Supardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiolaogi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa

H.T, Faruk. 2003. Pengantar Sosiologi Sastra. dari strukturisme genetik sampai post modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ibsch, D.W. Fokkema Elrud Kunne. 1999. Teori Sastra Abad Kedua Puluh. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Kurniawan, Eka. 1999. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Yogyakarta: Yayasan Aksara Indonesia.

Ngasti, Ni Wayan. 2001. Bunga Rampai Hasil Penelitian Bahasa dan Sastra. Denpasar: Balai Bahasa Denpasar.

Nurgiantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Pradobo, Rachmat Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Santoso, Teguh. 2001. Analisis Struktural Cerpen Peserta Lomba Penulisan Cerpen Balai Bahasa Banda Aceh Tahun 2000. Banda Aceh: Balai Bahasa Banda Aceh

Semi, M. Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa

Sugihastuti & Suharto. 2002. Kritik Sastra Feminisme:Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sumardjo, Jakob. 1988. Memahami Kesusatraan. Jakarta: Gramedia

………………… 2000. Filsafat Seni. Bandung: Institut Teknologi Bandung

Suwando, Tirto. 2003. Studi Sastra Beberapa Alternatif. Yogyakarta: Hanindita

Zaidan, Abdul Rozak. 2002. Pedoman Penelitian Sastra Daerah. Jakarta: Pusat Bahasa


Tinggalkan komentar