Ungkapan-ungkapan Emosional dalam Bahasa Aceh

Posted on Updated on

Oleh Safriandi, S.Pd.

Dalam kehidupan sehari-hari, orang sangat sering mengungkapkan ungkapan emosionalnya, baik dalam bentuk kata, kelompok kata, maupun kalimat. Ungkapan emosional ini diucapkan di mana saja, misalnya di warung, di kedai, di sekolah, dan diucapkan oleh siapa saja, misalnya orang tua, guru, pejabat, buruh bangunan. Tampaknya dapat dikatakan bahwa ungkapan emosional ini merupakan salah bentuk kebiasaan masyarakat.

Satu hal yang tak dapat dipungkiri adalah setiap bahasa di dunia ini tentu saja memiliki ungkapan-ungkapan emosional . Ungkapan-ungkapan ini dipakai dalam berbagai tempat dan situasi. Sebut saja misalnya bahasa Indonesia. Bahasa ini memiliki ungkapan-ungkapan emosional, seperti sialan, bajingan, pantengong, anak bau kencur. Bukan hanya bahasa Indonesia, bahasa yang lain pun seperti bahasa Inggris juga memiliki ungkapan-ungkapan emosional, seperti fuck you, dam, bullshit. Ungkapan-ungkapan emosional, baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Inggris itu dipakai untuk mengungkapkan amarah, kesal, benci, atau juga untuk mengungkapkan rasa senang dan gembira.

Di atas telah disebutkan bahwa ungkapan-ungkapan emosional  terdapat dalam semua bahasa. Salah satu bahasa yang menjadi fokus pembicaraan pada tulisan ini adalah bahasa Aceh. Bahasa ini, sebagaimana bahasa yang lain memiliki kata, kelompok kata, atau kalimat-kalimat yang berisi ungkapan-ungkapan emosional yang dipakai dalam berbagai suasana dan tempat. Perhatikan data-data berikut ini!

Informan dari Nagan Raya Informan dari

 

Aceh Barat

Informan dari Aceh Selatan Informan dari Sigli
bret mak kah

 

kajak pap leumo

kajak u bui jak

kajak u bui lôp keudéh

aneuk hana diaja

pap ma kah

waba kareuh

aneuk glanteutak

geureuda sampoh

pantèk ma

 

bret ma

ék leumo

bui/asai+kata ganti orang

ék kilang

ék glang

ulai bak teuôt

lagai ulai kamèng teutôt

jampôk

bui sugôt

aneuek umpeun rimung

 

aneuk glanteutak

rimung sampôh

waba puta

umpeun ta’eun

breut ma

 

aneuk bajeung

aneuk arakatèe

pukoe leumo

jak pap ma

lam boh ku

pukèe ma

jak lét asèe

jak lét ma keudéh

lam makeuh

Ungkapan-ungkapan emosional  yang disebutkan di atas tentu saja hanyalah sebagian. Masih banyak ungkapan emosional lain yang jika didokumentasikan  dapat mencapai puluhan ungkapan, baik dalam bentuk kata, kelompok kata, maupun kalimat.

Ditinjau dari segi makna, nuansa makna yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan emosional di atas lebih tinggi. Artinya, jika ungkapan-ungkapan itu diucapkan kepada seseorang, orang yang mendengar itu tentu akan sangat marah. Karena tingginya nuansa makna yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan ini, penerjemahan ke dalam bahasa lain tak dapat dilakukan. Meskipun penerjemahan dapat dilakukan, hasil terjemahan tersebut memiliki nuansa makna yang berbeda dengan ungkapan yang berasal dari bahasa yang diterjemahkan. Coba Anda baca kalimat ini! Bit-bit nyo kah lagèe kamèng teutet. Bandingkan nuansa makna kalimat tersebut dengan kalimat hasil terjemahan ini! Kamu benar-benar seperti kepala kambing yang dibakar.

Ditinjau dari segi pilihan kata, ungkapan-ungkapan emosional dalam bahasa Aceh tampaknya memilih kata-kata yang memiliki derajat kesopanan yang rendah, misalnya ‘ok, pap, bret, arakatè/arekatè. Sebagian kata tersebut dirangkaikan dengan kata yang menurut si pengucap dapat membangkitkan amarah yang sangat besar bagi si pendengar, misalnya ‘ok (setubuhi) dirangkaikan dengan ma/mi (ibu), pap (setubuhi) dirangkaikan dengan kata ma/mi(ibu),bret dirangkaikan dengan ma/mi (ibu). Ada juga ungkapan-ungkapan emosional dalam bahasa Aceh yang di dalamnya terdapat kata-kata yang berkaitan dengan binatang. Binatang yang dipilih pun sebagian adalah binatang-binatang yang diharamkan dalam agama. Tujuannya tentu saja untuk mengundang kemarahan si pendengar, misalnya ka jak u bui jak keudéh, kajak lét asèe keudéh, kajak pap leumo, lagèe ulèe kamèng teutôt. Kata-kata yang digarisbawahi masing-masing bermakna babi, anjing, lembu, kambing.

Pada ungkapan-ungkapan emosional yang tertera pada tabel terlihat bahwa ada kesamaan bentuk antara ungkapan yang ada dalam suatu daerah dan daerah lain, misalnya antara daerah Aceh Barat dan Nagan Raya. Daerah ini memiliki ungkapan emosional yang hampir sama yaitu bret ma/mak. Akan tetapi, jika kita melihat data di atas, derajat kehadiran kata ganti orang (pronomina persona) sesudah kata ma/mak pada ungkapan di atas, berbeda antara bahasa Aceh Barat dan Nagan Raya. Di Nagan Raya, kehadiran kata ganti orang sesudah kata ma/mak pada ungkapan bret ma/mak bersifat wajib. Artinya, ungkapan ini tidak akan sempurna tanpa kehadiran kata ganti orang. Jadi, ketika mengucapkan ungkapan emosional, apakah karena marah atau benci, di Nagan Raya ungkapan yang dipakai adalah bret ma/makkah atau bret ma/makjih (jih dan kah adalah kata ganti orang dalam bahasa Aceh) bukan bret ma/mak.

Ungkapan-ungkapan yang disebutkan di atas semuanya berisi curahan emosional yang berupa marah, kesal, benci. Saat marah, orang akan menggunakan kata, jak u bui jak, jak pap leumo, saat seseorang kesal terhadap lawan bicaranya karena lawan bicaranya itu tidak mengerti terhadap hal yang telah dijelaskan pembicara berungkali, sebagian orang Aceh Barat akan menyebutkan èk kilang. Sebagian orang Aceh Barat juga akan menggunakan ungkapan bui sugôt saat ia ingin meyakinkan lawan bicaranya bahwa orang yang menjadi bahan pembicaraan mereka itu adalah pembohong, tak bisa dipercaya. Jadi, dapat dikatakan bahwa bui sugôt ini bermakna pembohong, tak dapat dipercaya. Menurut informan yang berasal dari daerah ini, ungkapan bui sugôt ini hanya ditujukan untuk orang ketiga. Hal ini akan jelas terlihat pada kalimat Hai, bek kadeungo haba sinyan. Jih bui sugôt. Saat menasihati anak yang nakal dan berakhlak buruk, sudah berkali-kali dinasihati tetapi anak itu tidak mendengar, sebagian orang Sigli akan mengatakan aneuk arakatè.

Ungkapan-ungkapan emosional yang terdapat dalam tabel di atas ternyata tidak hanya dipakai untuk mengungkapkan emosional yang berupa benci, kesal, atau marah, tetapi juga untuk luapan rasa senang dan gembira. Akan tetapi, pemakainnya hanya terbatas pada orang-orang yang sudah saling akrab. Contoh pemakaiannya dalam kalimat adalah ‘Ok ma kah. Ho kajak barokön hana deuh-deuh. Pada kalimat tersebut, pemakaian bentuk ‘ok ma kah pada kalimat tersebut bukanlah ungkapan emosional yang mengungkapkan rasa marah atau benci kepada seseorang, melainkan mengungkapkan rasa senang kepada orang yang disapa dengan syarat orang yang disapa itu adalah kawan akrabnya.

Ungkapan emosional ‘ok ma kah pada kalimat ‘Ok ma kah. Ho kajak barokön hana deuh-deuh tampaknya hampir sama pemakaiannya dengan kata gila, dalam bahasa Indonesia, pada kalimat Gila, Ustadz itu sudah lima kali naik haji. Akan tetapi, perbedaannya adalah kata gila dalam kalimat tersebut ditujukan tidak hanya untuk orang-orang yang sudah dekat dengannya, tetapi juga untuk orang-orang yang menurut si pengucap memiliki kelebihan-kelebihan atau telah melakukan hal-hal yang luar biasa. Secara ilmu kebahasaan, kata gila dalam konteks kalimat di atas disebut interjeksi (kata seru).  

Ternyata dalam bahasa Aceh, ungkapan-ungkapan emosional juga ada berbentuk kata-kata yang berkonotasi positif. Biasanya ungkapan emosional ini dipakai untuk memuji seseorang. Salah satu ungkapan emosional yang penulis maksud adalah bak budik kèe. Ungkapan ini biasanya dipakai untuk mengungkapkan rasa ketakjuban seseorang, baik kepada manusia maupun kepada benda selain manusia. Bentuk bak budik kèe yang dipakai untuk mengungkapkan ketakjuban ini tidak sama pemakaiannya dengan bak budôk, bak jitak lé glanteu, bak jitumoh bara singkèe. Bentuk-bentuk ini dipakai untuk mengukuhkan si pembicara atau pendengar terhadap hal yang sedang dibicarakan, misalnya Bak budôk/bak jitak lé glanteu/bak jitumoh bara singkèe kah na kajak sikula baro. Si pendengar akan menjawab bak budôk/bak jitak lé glanteu/bak jitumoh bara singkèe lôn nyoe.

Akhirnya, berdasarkan pembicaraan tentang ungkapan-ungkapan emosional dalam bahasa Aceh di atas, penulis menyimpulkan sebagai berikut.

  1. Dalam bahasa Aceh ternyata terdapat ungkapan emosional baik untuk mengungkapkan rasa kesal, marah benci, atau senang.
  2. Nuansa makna yang terdapat dalam ungkapan emosional ini sangat tinggi sehingga ia tak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Meskipun ungkapan emosional tersebut diterjemahkan, hasil terjemahannya memiliki nuansa makna yang berbeda dengan bahasa yang diterjemahkan.
  3. Ungkapan-ungkapan emosional dalam bahasa Aceh terdapat keunikan dalam hal pilihan kata (diksi).
  4. Ada beberapa ungkapan emosional dalam bahasa Aceh yang menuntut kehadiran kata ganti orang.

Akhirnya, penulis menyarankan bagi pembaca, khususnya masyarakat Aceh untuk menghindari pemakaian ungkapan-ungkapan emosional yang tertera seperti dalam tabel di atas karena ungkapan tersebut tidak mencerminkan akhlak yang baik. Alangkah baiknya jika seseorang marah kepada lawan bicaranya, orang tersebut tetap berusaha menggunakan kata-kata atau kalimat yang sopan. Hal itu akan lebih baik dan tentu saja dapat menjadi patron akhlak seseorang.

Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah FKIP Unsyiah

8 respons untuk ‘Ungkapan-ungkapan Emosional dalam Bahasa Aceh

    mantap said:
    Mei 16, 2010 pukul 6:48 pm

    JAK PEK MA BEK TUWO PAK

    anak didikmu said:
    Juni 11, 2010 pukul 3:00 am

    eeeeeeeeeeee..,,
    peu teungeut………??????

    alfa said:
    Mei 1, 2012 pukul 10:19 am

    lam bule anbeuk tet ma dan puko ma keu ruhung nyan hana neupeugah lago pak???

    ek puko said:
    Agustus 15, 2012 pukul 7:44 pm

    Kuculek aneuk tet mangat kawoe ngen puko soh lom pak guru….

    nora said:
    Oktober 21, 2012 pukul 3:09 am

    bang andi ini nora, ada cerita short story lainnya gk? thank u

      inteligator said:
      Januari 26, 2013 pukul 6:38 am

      kawo kasambai bule pukoma keu bapak ta’et ija broek…

    inteligator said:
    Januari 26, 2013 pukul 6:39 am

    kawo kasambai bule pukoma keu bapak ta’et ija broek…. ^_^

    susi said:
    April 12, 2013 pukul 2:35 am

    peuen..

Tinggalkan komentar